[TEPIAN HIKMAH] Prabowo Subianto, di awal kekuasaan, tampak terkurung dalam bayang-bayang. Bukan bayang-bayang musuh, melainkan bayang-bayang pendahulunya, yang kini menjelma menjadi bayang-bayang kekuasaan itu sendiri. Sebuah bayang-bayang yang, walau tak lagi secara formal berkuasa, masih menjulang, membayangi setiap langkah, setiap kebijakan, setiap keputusan. Ia adalah bayang-bayang Jokowi, yang—menurut analisis yang beredar—telah membina sebuah sistem politik sandera, sebuah jaringan pengaruh yang halus namun mengikat.
Analogi “wortel dan tongkat,” yang kerap digunakan untuk menggambarkan politik Jokowi, terasa pas. Beberapa menteri, yang dulunya mungkin berseberangan, kini menikmati “wortel” kekuasaan, setia pada garis yang telah ditetapkan. Mereka adalah para “tersandera sukarela,” yang—menurut fenomena psikologis Stockholm Syndrome—telah menemukan simpati pada sang “penculik.” Tom Lembong, di sisi lain, menjadi simbol “tongkat,” peringatan bagi siapapun yang berani melenceng dari skrip yang telah ditulis.
Prabowo, dalam konteks ini, berada dalam posisi yang rumit. Kabinetnya, yang sarat dengan aroma Jokowi, menunjukkan sebuah realitas yang sulit diabaikan. Kebijakan-kebijakan awal pemerintahannya pun, seolah-olah masih menari mengikuti irama yang telah dimainkan pendahulunya. Pertanyaan yang menggantung di udara: apakah Prabowo, dengan segala wibawanya, benar-benar merdeka dalam mengambil keputusan? Ataukah ia, tanpa disadari, telah menjadi bagian dari sandiwara politik yang rumit ini?
Jalan keluar dari belenggu ini bukanlah sebuah revolusi yang dramatis, melainkan sebuah proses yang memerlukan ketegasan, kejernihan, dan keberanian. Prabowo perlu menunjukkan kepada rakyat, dan kepada dirinya sendiri, bahwa ia adalah pemimpin yang otonom, pemimpin yang tak terikat oleh bayang-bayang masa lalu. Langkah pertama adalah melakukan audit politik yang transparan dan menyeluruh. Bukan audit yang sekadar formalitas, tetapi audit yang benar-benar menggali akar masalah, mengungkap jalinan kepentingan yang tersembunyi, dan menyingkap potensi konflik kepentingan dalam pemerintahan.
Selanjutnya, keberanian untuk mengambil keputusan yang berani, meski berisiko, menjadi mutlak. Menindak tegas korupsi, tanpa pandang bulu, adalah bagian dari proses pembersihan ini. Menghukum para pelaku korupsi, meski mereka adalah bagian dari jaringan kekuasaan yang ada, akan menjadi bukti nyata bahwa Prabowo sungguh-sungguh ingin membebaskan negeri ini dari belenggu korupsi.
Terakhir, dan mungkin yang terpenting, adalah membangun narasi kepemimpinan yang baru, narasi yang berbeda dari narasi yang telah dibangun oleh pendahulunya. Narasi yang menekankan kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan kebaikan umum. Narasi yang mampu menginspirasi dan menyatukan rakyat, bukan narasi yang hanya berfokus pada permainan kekuasaan.
Jalan menuju kemerdekaan politik bukanlah jalan yang mudah. Ia memerlukan pengorbanan, keberanian, dan kebijaksanaan. Tetapi, bagi Prabowo, dan bagi Indonesia, perjuangan untuk membebaskan diri dari bayang-bayang ini adalah perjuangan yang harus dilakukan. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat benar-benar merdeka, dan Prabowo dapat menorehkan legasi kepemimpinan yang benar-benar bermakna.