Ada sesuatu yang hampir puitis dalam cara kita menamai mimpi: Danantara. Bunyinya lembut, seperti hembusan angin di atas danau yang tak pernah keruh—setidaknya begitulah harapan yang mereka jual kepada kita. Di halaman Istana, pada 24 Februari 2025, Prabowo berdiri tegak, dikelilingi bayang-bayang masa lalu: Jokowi, SBY, JK. Mereka tersenyum, seolah-olah waktu telah memaafkan segala luka yang pernah mereka torehkan. Danantara, kata mereka, adalah jembatan menuju masa depan, sebuah badan pengelola investasi yang akan mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi kita. Tapi, seperti danau yang terlalu tenang, aku bertanya: apa yang tersembunyi di bawah permukaannya?
Jokowi, sang mantan presiden yang kini jadi penasihat, duduk di sana dengan wajah yang masih sama: sederhana, tapi penuh rahasia. Ia pernah bilang IKN bukan proyek pribadinya, melainkan visi kolektif—kata-kata yang terdengar mulia sampai kita ingat betapa banyak utang yang kini membebani pundak kita untuk membangun kota tanpa penghuni itu. Kini, di bawah naungan Danantara, ia kembali dipanggil untuk “mengawal” masa depan. Lucu, bukan? Orang yang meninggalkan kita dengan beban triliunan rupiah kini dipercaya memastikan kapal tidak karam. Mungkin ini cara kita menghormati sejarah: dengan mengulanginya, tapi kali ini dengan pita yang lebih cantik.
Sementara itu, di luar istana, tagar “Adili Jokowi” bergema—bukan sebagai nyanyian, tapi jeritan. Massa di Solo, di Jawa Timur, berteriak tentang KKN, tentang KPK yang dipotong kakinya, tentang pemilu yang diragukan kejujurannya. OCCRP menyebutnya salah satu yang terkorup di dunia, meski tanpa bukti, hanya bisik-bisik yang kini jadi nyanyian rakyat. Tapi Prabowo, dengan Danantara-nya, tampak tak peduli. Ia sibuk membangun panggung baru, mengundang para mantan presiden untuk duduk bersama, seolah-olah kekompakan ini cukup untuk menutup mulut kita semua. Pemerintahan baru ini, katanya, adalah tentang efisiensi, tentang memperbaiki warisan yang kacau. Tapi jika efisiensi berarti menyapu debu ke bawah karpet dan memanggilnya bersih, maka selamat: kita telah mencapai puncak kebijaksanaan.
Danantara, bagi sebagian orang, mungkin adalah harapan. Bagi yang lain, cuma nama baru untuk permainan lama. Investasi asing yang tak kunjung datang, IKN yang terancam mangkrak—semua itu kini jadi tanggung jawab badan ini, dengan Jokowi dan SBY sebagai penasihatnya. Dua orang yang pernah memimpin kita ke tepi jurang, kini diminta menunjukkan jalan pulang. Ironi itu hampir terasa seperti puisi, tapi sayangnya, kita bukan pembaca puisi. Kita adalah rakyat yang hidup di antara bait-baitnya, menanti danau itu keruh, atau setidaknya jujur menampakkan dasarnya.