INIPASTI.COM – “Sombong, pongah !” teriak Datu Museng sambil bangkit dari duduknya. Dengan memegang kuat-kuat hulu keris pusakanya yang bergelar “Matata-rampanna”. ia melangkah ke jendela. Dadanya bergejolak, diamuk rasa jengkel yang amat sangat. Ia merasa amat terhina dengan permintaan Tumalompoa itu. Selama hidupnya, baru kali ini ada sesama manusia yang berani secara terang-terangan menghinanya. Jika tak cepat sadar bahwa Daeng Jarre hanya abdi saja, akan dicincangnya orang ini.
Di ambang jendela ia berhenti sambil tangan kiri bertumpu pada bingkai jendela dan tangan kanan tetap pada hulu keris, Ia mencoba melontarkan pandangan sekilas ke bawah. Lengang dan kosong. Sekosong dan sehampa parasaannya kini. Ya, tak satu pun benda yang dipandangnya dapat mengobat sakit hatinya. Semuanya seakan malah mengejek dan merendahkan martabatnya yang sudah menggunung.
Tiba-tiba ia membalik menghadapi suro Daeng Jarre. Matanya kini berwarna saga, ia nampaknya tak tahan menerima penghinaan. Sambil berusaha mengekang amarahnya, ia melangkah lambat-lambat ke arah Daeng Jarre. Kira-kira tiga langkah dari suro itu ia berhenti dan mengangkangkan kakinya kuat-kuat, lalu berkata setengah berteriak: “Kembali segera kepada tuanmu. Katakan aku tak mau menyerahkan senjata, apalagi isteriku. Sampaikan bahwa aku laki-laki. Laki-laki pantang menyerah jika miliknya hendak dirampas. Suruh tuanmu Tumalompoa datang sendiri kemari menyampaikan maksudnya, supaya dia tahu siapa aku. Dia boleh membawa serta sepasukan tubarani. Katakan, ketika Maipa Deapati belum menjadi isteriku, aku bersedia mati untuknya. Apalagi sekarang, sudah di tangan, lalu hendak dirampas oleh orang lain. Sungguh tolol tuanmu. Atau barangkali Ia terlalu pongah? Hidupku ini hanya untuk Maipa Deapati, lain tiada. Ha…, begitu rendah budi pekerti yang dipertuan di Makassar ini ! Hei suro. pulang segera. Sampaikan bahwa senjataku tetap di pinggang sampai maut menjelang. Dan isteri belaian kasih, tetap dalam lindungan tanganku !”
Ketika Daeng Jarre tetap termenung dungu di tempat duduknya, Datu Museng menghentakkan kaki sambil berteriak: “Hayo berangkat, atau kupancung lehermu !”
Mendengar perintah itu, abdi Daeng Jarre terperanjat. Buru-buru ia bangkit berjongkok dan tergopoh-gopoh menuju pintu, langsung menuruni tangga, tak menoleh lagi. Ia berjalan cepat-cepat agar cepat pula sampai menyembah di kaki Tumalompoa dan Jurubahasa.
Hatinya amat masygul dan luka tak terkira, karena tugasnya tak berhasil. Untuk pertama kali dalam sejarah pengabdiannya, ia gagal dua kali berturut-turut menghadapi seseorang. Apa dayanya sekarang? Rupa-rupanya Datu Museng bukan sembarang Datu, tapi Datu pilihan yang lulus di atas batu ujian. Dia adalah manusia yang tak gentar pada kekuatan sesama manusia, kendati manusia yang dihadapinya jauh lebih berkuasa dari dirinya sendiri. Akh, sungguh lelaki sejati.
Bersambung…