ESAI- Ada yang terbakar di musim Pilkada. Bukan hanya semangat para kandidat yang merayu dengan janji-janji, tapi juga bara api di panggangan ikan di warung-warung pinggir jalan. Di kota kecil hingga desa pesisir, aroma ikan bakar menjadi pengiring setia tiap obrolan tentang siapa yang layak memimpin. Di sini, politik dan ikan bakar bersekutu, menjembatani jurang antara elite dan rakyat jelata.
Di satu sudut warung yang sederhana, suara percakapan melintasi asap. Ada lelaki tua yang membelah daging ikan, sambil bicara tentang program bantuan untuk nelayan. “Kandidat itu peduli sama kami,” katanya. Seorang pemuda menyela, “Tapi, bukankah dia dulu janji hal yang sama, dan kita tetap saja begini?” Diskusi yang bermula dari cita rasa ikan segar merembet ke perkara politik yang tak pernah segar.
Politik lokal sering kali terasa seperti pasar malam. Riuh, penuh godaan, tapi sering kali ilusi. Para kandidat datang dengan senyum selebar laut, membawa program yang dirancang seperti bumbu marinasi: dirasa cukup gurih untuk sementara, tapi menguap ketika bara padam. Sementara itu, rakyat adalah arang—membakar diri untuk menghidupi pesta.
Namun, ada kehangatan yang tulus di tengah asap ini. Pilkada menjadi ruang percakapan yang nyata di antara penduduk yang sehari-hari lebih sibuk bertahan hidup daripada berpikir tentang politik. Di warung ikan bakar, tidak ada survei, tidak ada debat resmi, hanya lidah yang merasakan mana janji yang manis dan mana yang gosong.
Mungkin, kita perlu belajar dari ikan bakar. Bumbu yang sederhana sering kali lebih lezat daripada yang berlebihan. Seperti itu pula kepemimpinan yang baik: tidak perlu janji melangit, cukup jujur, cukup nyata.
Di akhir malam, ketika bara meredup, tinggal sisa-sisa duri yang tertinggal. Sama seperti Pilkada, ketika semua janji telah dikeluarkan, rakyat yang akan memungut duri-duri itu—mencari yang tersisa dari pesta politik. Dan, seperti ikan bakar, kita hanya bisa berharap, ada yang benar-benar terasa mengenyangkan.
Dalam aroma ikan bakar, Pilkada menemukan wujudnya: sebuah panggung kecil yang tak terlalu megah, tapi penuh makna. Di sana, suara-suara rakyat berkumpul, membakar harapan di atas bara yang sering kali dingin.
—Pastisyah