INIPASTI.COM, SUDIANG – Tepat sebulan sepeninggal suami tercinta, Darma Binti Lesang Timpa (48) memasuki Asrama Haji Sudiang. Senyum diwajahnya tak mampu menyembunyikan kesedihannya mengingat sosok lelaki yang sangat dicintainya itu.
Kesedihan Jemaah Calon Haji (JCH) asal Kabupaten Bulukumba ini bukan hanya karena Sirajuddin Bin Haji Mantong (48) meninggal dunia. Lebih dari itu, Darma tak bisa melupakan perjuangannya bersama sang suami. Terutama terkait dia bisa berangkat haji tahun ini.
Semasa hidupnya, Sirajuddin menafkahi keluarga dengan bertani cengkeh. Dengan rela hati, Darma juga membantu sang suami dengan menjadi pedagang kaki lima menjual hasil bumi berupa durian, langsat, ubi kayu, dan lain sebagainya.
Selaku umat Islam, Sirajuddin dan Darma sadar akan adanya rukun Islam yang kelima yaitu naik haji. Olehnya, sejak tahun 1999 mereka mulai menabung untuk mendaftar di Kementerian Agama Kabupaten Bulukumba.
“Kami sisihkan 2 juta rupiah pertahun untuk tabungan haji, itu berlangsung kurang lebih 10 tahun lamanya,” ucap Darma
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2009, uang yang dikumpulkan sudah cukup. Kala itu, biaya pendaftaran haji sebesar Rp20 juta. Mereka pun mendatangi kantor Kementerian Agama Kabupaten Bulukumba untuk mendaftar sebagai calon jemaah haji.
Mengingat daftar tunggu haji di Sulawesi Selatan begitu panjang. Khususnya di Bulukumba, saat itu daftar tunggunya mencapai 9 tahun. Sehingga mereka masih harus bersabar mendapatkan giliran untuk berangkat haji.
Tahun 2019, mereka pun mendapatkan panggilan. Pasangan suami istri sejak tahun 1994 ini pun berusaha untuk melunasi sisa biaya naik haji. Setelah terkumpul, keduanya melunasi biaya haji pada 5 April 2019.
“Saat pelunasan itu, bapak tampak sangat senang,” tambah ibu 2 orang anak ini.
Namun nasib berkata lain, sebelum sempat memenuhi panggilan ke Baitullah, panggilan maut justru datang lebih dahulu. 5 hari setelah pelunasan, Sirajuddin berpulang ke Rahmatullah.
“10 April 2019 bapak meninggal. Bapak sakit rematik dan kolesterol dan sempat dirawat di Rumah Sakit Bulukumba, 5 hari. 15 hari setelah keluar dari rumah sakit, bapak meninggal dunia,” ungkap perempuan kelahiran Borongloe, Bulukumba, 7 Mei 1971 itu.
Meski sedih, dia tetap berusaha tegar. Apatah lagi, sang suami digantikan oleh anak sulungnya, Irmawati (23) untuk menemaninya berangkat menunaikan impiannya berpuluh-puluh tahun itu.
“Meskipun itu berat, tapi terhibur karena ditemani anak pertama saya,” tegarnya.
Dia pun berjanji akan mendoakan almarhum agar dilapangkan kuburnya dan diberikan tempat yang layak di sisi Allah SWT. (Sule)