INIPASTI.COM, MAKASSAR – Senja itu selepas Shalat Magrib, seorang bapak tua berjalan pulang dari masjid menuju rumahnya yang berjarak kurang lebih 500 meter. Dengan mata yang sudah rabun dan dengan langkah yang tertatih-tatih, dia berjalan sangat berhati-hati di pinggir sebelah kiri jalan tanpa trotoar dan tanpa lampu jalan yang memadai. Naas baginya, dia ditabrak dari belakang pengendara motor yang ugal-ugalan. Bapak tua yang naas itu terpental saluran kota yang berada di sisi jalan. Dalam keadaan bermandi comberan dan luka yang parah, bapak tua diangkat dan diantar oleh orang- orang yang berada di sekitar TKP menuju rumah sakit terdekat, sementara si pengendara motor buru-buru naik ke motornya dan melarikan diri, karena melihat gelagat yang tidak baik bagi keselamatan dirinya. Demikian sepenggal cerita nyata yang telah dua kali dialami oleh pak tua ini, di kota yang konon setara dengan kota dunia yang 2x+v (dua kali tambah baik), demikian jargonnya.
Bahwa hak bapak tersebut untuk berjalan kaki dengan nyaman dan aman di kotaku telah diabaikan (untuk tidak mengatakan dirampas) oleh pemerintah kota, karena dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya membangun dan atau memperbaiki trotoar dengan optimal. UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan bahwa “Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain”. Pemerintah berkewajiban mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan efisien karena pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika bercampur dengan kendaraan. Karena itu, harus memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor. Dengan demikian, seyogyanya hak publik tersebut diperhatikan dengan baik oleh pemerintah kota.
Walkability -tingkat kenyamanan, konektifitas, dan kualitas jalur pejalan kaki (trotoar/ pedestrian) di Makassar dan kota-kota lainnya di Indonesia masih relatih rendah. Demikian diungkapkan oleh DR. Lana Winayanti,MCP dalam artikel berjudul “Kenyamanan berjalan kaki dan fasilitas pejalan kaki di kota-kota Indonesia”. Buruknya konektifitas dan kualitas jalur pejalan kaki mengakibatkan 21% korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah pejalan kaki (WHO). Data ini mempunyai korelasi dengan cerita pak tua diatas.
Beberapa tahun terakhir ini, di Makassar perbaikan dan atau pembangunan trotoar tidak dilaksanakan secara memadai. Berbanding terbalik dengan peningkatan jalan aspal dan jalan beton. Jalan Boulevard, Jalan Dg Tata Raya, Jalan Landak Baru adalah contoh jalan beton tanpa trotoar. Ironisnya, sisi cor jalan beton tsb, hanya 30-50 cm dari bibir saluran kota. Bisa kita bayangkan betapa berbahaya dan tidak nyaman berjalan kaki di jalan tanpa trotoar itu. Melalui pengamatan selintas beberapa jalan di Makassar, sebahagian besar trotoar rusak dan atau beralih fungsi. Jalan St Alauddin, Jalan AP Pettarani, Jalan Veteran, Jalan Ratulangi, kondisi trotoar sangat rusak dan atau bahkan tidak ada trotoar.
Penyebaran trotoar di Makassar tidak merata, demikian pula dengan pembangunan dan atau perbaikannya hanya pada titik tertentu saja, yaitu pada jalan primer saja. Trotoar di Makassar tidak pernah di desain atau setidaknya tidak pernah dilaksanakan secara komprehensif, melainkan setempat setempat saja didepan bangunan bangunan tertentu saja. Standard desainnya dan spesifikasi-nya juga tidak sama. Disamping penyebaran dan kualitas yang tidak baik, trotoar digunakan juga untuk tempat parkir kantor, contoh di depan BNI Sudirman, RS Labuang Baji, dll.
Bahwa melalui website makassarkota.go.id, pada tahun 2016 Pemkot Makassar akan fokus pada perbaikan infrastruktur dan (konon) akan menyulap pedestrian menjadi tempat wisata bagi wisatawan yang datang di Makassar, belum terasa hasilnya. Bahwa trotoar Makassar akan dibuat seperti trotoar di San Fransisco tentu sudah cukup baik maksudnya, namun bagi masyarakat pengguna, dengan dana yang terbatas itu, seyogyanya konsep “ala San Fransisco” itu tidak menghabiskan biaya pada titik tertentu saja, Pantai Losari; seputar Gubernuran, dan pada tempat-tempat premium saja, melainkan dilaksanakan merata penyebarannya pada jalan-jalan sekunder lainnya, walaupun hanya konsep “ala Makassar-ji”.