Ahok adalah salah satu elit politik sesudah Jokowi yang mempraktekkan teori Foucault dengan sempurna sekali. Sebuah teori yang merancang platform untuk mendominasi atau menghegemonisasi, dengan menyasar kelompok publik marjinal, dengan menggunakan instrumen; kuasa, wacana dan pengetahuan.
Gubernur DKI ini piawai memanfaatkan preferensi publik yang sedang semarak akan anti korupsi, dan publik yang merindukan pemimpin formal yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Ahok yang pernah menjadi Bupati di Babel itu semula tidak dikenal oleh publik dengan karakternya seperti saat ini. Karakternya sekarang ini tidak sepenuhnya karakter dasar Ahok. Menurut pengamat Sosiologi Kekuasaan Dr. Imam Mujahidin, Ahok di-drive untuk menonjolkan pribadi yang bersih, benci pada sogokan, anti pada gratifikasi. Konsultan politik Ahok berfungsi sangat efektif. Membuat Ahok lebih galak pada stafnya yang malas, atau stafnya yang lamban merespon permasalahan publik. Jelas apa yang dilakukan Ahok mengikuti preferensi publik, lanjut Imam.
“Kita bisa tracking langkah politik Ahok yang menunjukkan bahwa ia seorang yang sangat bersih, jujur, cepat dan blak-blakan. Dua senjata Ahok yang paling ampuh dihubungkan dengan upaya dia menaikkan trend positivenya mendekati Pilkada DKI pada 2017 mendatang. Pertama, dia mampu meyakinkan KPK bahwa dia tidak bermasalah dengan temuan BPK di Rumah Sakit Sumber Waras. Kedua, dia memanfaatkan keteledoran anak buahnya yang mencoba membawakan uang sembilan milyar kepada Ahok sebagai tanda ucapan terimakasih pada jual beli tanah yang dilakukan Pemda DKI di sekitar Cengkareng. Ahok bukan saja menolak upaya gratifikasi itu, tapi bahkan melaporkan anak buahnya ke Polisi.” Jelas Imam. “Dari dua kasus itu, Ahok banyak memanen hasil politik. Dia keluarkan issue pada saat dia diserang rame-rame oleh lawan politiknya. Hasilnya, publik membela Ahok.” Beber Imam.
Hal lain yang dilakukan Ahok untuk meningkatkan kepercayaan publik adalah melakukan strategi hybridisasi budaya politik, dengan tetap mewacanakan pemimpin harus bersih, anti korupsi, jujur dan sederhana. Ahok menyadari betul sebagai sosok yang datang dari etnis dan agama yang minoritas, membutuhkan  cangkokan budaya politik yang melekat pada dirinya dengan budaya politik mayoritas di DKI. Wacana yang sering muncul soal ini adalah: Lebih bagus dipimpin sama non-muslim ketimbang  dipimpin oleh orang muslim yang koruptor. Inti dari ajaran Islam menurut Ahok adalah kejujuran, tidak mencuri hak orang lain. Seakan akan Ahok ingin mengatakan, saya lebih muslim dari orang muslim di DKI. Wacana ini mendapat dukungan kuasa pengetahuan Islam. Islam tidak hanya mengajarkan konsep tentang kejujuran, tetapi yang lebih penting adalah pelaksanaan dari ajaran Islam. Ahok bukan muslim, tetapi menjalankan perintah Islam, kira-kira begitu logika publik terhadap wacana ini. Sampe disini, Ahok lagi-lagi memenangkan dukungan publik.
Jika Ahok sungguh-sungguh melaksanakan apa yang dia katakan, bisa jadi ia akan mengontrol semua suhu kesadaran publik yang beredar di DKI, dengan demikian Ahok dengan mudah akan mengalahkan lawan-lawan politiknya yang juga menyajikan wacana counter issue terhadap wacana yang disajikan Ahok. Akan tetapi jika sebaliknya, Ahok tidak dapat membuktikan apa yang dia janjikan dan apa yang dia katakan menjadi sebuah tindakan nyata, maka apa yang dilakukan Ahok saat ini adalah benar-benar sebuah wacana yang mendapat justifikasi dari kuasa pengetahuan, papar Imam Mujahidin. Inilah proyek yang biasa dilakukan para elit politik untuk mengelabui kesadaran publik, tutup Imam yang mendalami Sosiologi Kekuasaan di Indonesia.