INIPASTI.COM – Ia berjalan bergegas-gegas, menirukan lenggang Tuan Tumalompoa yang perkasa. Beberapa pengiring dan sebarisan pengusung berpakaian indah, mengikutinya dari belakang.
Setiba di depan rumah yang dituju. Ia memerintahkan para pengiring menanti di anak tangga terbawah. Ia pun melangkah menaiki tangga dengan gerak yang dibuat sedemikian rupa agar indah kelihatan, supaya Maipa memandangnya sebagai lelaki sopan, gagah dan terhormat.
Di pelataran rumah, tiada seorang manusia pun yang dijumpainya.
Ia melanjutkan langkahnya masuk ruang tengah. Di sana ia berhenti sejenak, menengok ke kiri dam kanan. Akhirnya matanya tertumbuk di tiang tengah, di atas sebuah kursi. Di sana, matanya terpesona beberapa jenak. Betapa tidak, di kursi itulah Maipa sedang duduk termenung merunduk mamejamkan mata. Lehernya dibebat dengan kain merah.
“Aduh, sungguh indah karunia Tuhan kepada perempuan ini”, pikirnya benar-benar istimewa. Sorot matanya menjalar mulai dari wajahnya bundar menelur, ke pipi montok halus, terus ke hidung mancung indah. Alis laksana bulan menyabit, bulumata panjang melentik. Bibir bak limau seulas. Dagu laksana lebah bergantung. Leher berjenjang, dibalut kain merah. Tubuh padat berisi dalam pakaian baju bodo merah jambu. Ia benar-benar terpesona menyaksikan pemandangan yang indah, molek tiada terkira.
Dia beruntung, karena mendapatkan Maipa yang sedang tidur. Hingga sempat memandang sepuas-puas hati. Bukankah jika sudah berada dalam tangan Tuan Tumalompoa, ia tak mungkin lagi melihat bidadari menjelma ini Walau sesaat?
Entah berapa lama sudah ia tegak mematung memandangi perempuan itu ketika ia tiba-tiba sadar akan tugas yang dibebankan kepadanya oleh penguasa daratan Makassar itu. Sebenarnya ia belum puas berdiri di depan wanita itu. Tapi ia takut pada Tumalompoa yang kini tentu telah gelisah menunggu kedatangannya membawa perempuan ini.
Dengan dada berdebar-debar, ia melangkah maju perlahan-lahan mendekati Maipa. Di sana, ia kembali termenung, merenungi wajah indah dan masyhur, yang menjadi buah bibir kemana-mana itu. Beberapa saat lamanya ia kembali mematung kagum, tak tahu apa yang hendak dibuatnya. Ah, semakin dekat semakin cantik juga, keluhnya di dalam hati.
Karena tak tahan lagi hatinya, ia pun berbisik. “Wahai putri Maipa Deapati…., bangunlah, ratu. Sudah lama beta di sini., disuruh tuan I Tomolompoa yang berkuasa di dunia. Yang dapat menghitam-putihkan keadaan di Makassar. Usungan indah-permai yang bertahtakan intan baiduri telah tersedia. Sesuai benar dengan kemolekan tuan puteri. Aduhai ratu, senyumlah, bicaralah pada beta biar hanya sepatah kata, agar kukecap juga suara lembut yang lewat dari bibir tipis limau-seulas, kusaksikan juga gigi putih gading yang rata laksana delima merekah. Putri Juita, tengoklah kemari, biar hanya separuh pandang, setengah lirikan saja. Wahai tuan puteri Maipa, bayangan dewi kayangan, bukalah matamu dan lihatlah kemari, biar hanya sekejap, agar bahagia hati ini dan puas menghambakan diri pada tuan puteri. Pantas dan patut benar karaeng Datu Museng menyabung nyawa dan berani menghadang maut, mengamuk membabi buta, karena kecantikan rupa dan kemolekan tubuhmu ini. Ya, lelaki siapa yang tak bersedia mati untukmu, Wahai ratu kecantikan.
Ketika Maipa Deapati ternyata tidak juga bergerak, berlututlah I Tuan Jurubahasa di depan kaki sang puteri Sambil menengadah dalam sikap memuja, ia kemudian berkata lembut.
“Tuan puteri, bangunlah. Sudah lama Tumalompoa, sri paduka yang dipertuan di Makassar menanti. Hangus jantung dan perasaannya nanti, dibakar api cinta, karena terlalu lama menunggu tuan puteri…!”
Maipa Deapati ternyata tetap membisu, diam tiada mendengar bisikan I Tuan Jurubahasa. Sebenarnya, kendati ia berteriak sekeras guruh membahana guntur menggeledeg, tak akan mampu membangunkan sang puteri kemayu. Karena tak ada telinga yang hendak mendengar, tak ada hati yang ingin dirayu lagi.
Akhirnya I Tuan Jurubahasa merasa jemu membujuk merayu, mengharap dikabulkan pintanya, diterima rayuannya. Ia laksana sedang menyembah berhala, dimana tak akan pernah ada jawaban.
Kerena tak tahan hatinya Iagi, didorong rasa takut dan cemas akan mendapat amarah dari Tumalompoa, diputuskannya dalam hati untuk membawa sang puteri dalam keadaan demikian. Diusung semasih dalam lena. Rasannya akan lebih mudah memboyongnya, dari pada dalam keadaan terjaga.
Bersambung…