INIPASTI.COM, JOHOR BAHRU – Masih ingat kisah dua orang koordinator ‘teman Ahok’ saat mendapat masalah di imigrasi Singapura? Mereka ditahan oleh petugas imigrasi dan tidak diijinkan masuk ke negara singa itu dengan berbagai alasan terkait politik.
Singapura memang menjadi salah satu negara yang sangat ketat untuk menerima begitu saja tamu yang masuk. Di setiap imigrasi, dilakukan pemeriksaan ketat terhadap para pendatang, baik imigrasi di pelabuhan udara, maupun pelabuhan laut.
Salah satu pintu yang mendapat pengawasan sangat ketat adalah jalur yang menghubungkan Singapura dengan Johor Bahru, atau Singapura dengan Batam.
Diketahui bahwa Johor – Singapura – Batam adalah kota segitiga yang saling terkait. Bagi warga ketiga negara itu, sangat mudah untuk masuk ke setiap negara yang saling bertetangga itu.
Namun demikian, tidak berarti ada keistimewaan bagi warga bertetangga itu untuk berkunjung ke negeri tetangga mereka. Karena setiap saat, petugas imigrasi melakukan razia terhadap pendatang. Razia Ada beberapa ‘syarat’ yang biasanya ada pada si pendatang, yang menyebabkan mereka harus berurusan dengan pihak ‘kantor’ (office).
Berdasarkan informasi dari pengalaman kawan-kawan orang Indonesia, salah satu yang petugas imigrasi perhatikan adalah gerak-gerik sang pendatang. Bila gerak-gerik menunjukkan grogi -mungkin karena pertama kali masuk Singapura, sudah pasti akan digiring ke office dan mendapat wawancara panjang.
Syarat lainnya adalah nama. Seorang kawan yang mempunyai nama hanya terdiri dari satu suku kata di passportnya, harus selalu berurusan dengan office, setiap kali masuk ke Singapura. Meski sudah berkali-kali dijelaskan bahwa itulah satu-satunya nama yang dimiliki, namun bagi petugas imigrasi Singapura, memiliki nama yang terdiri dari satu suku kata saja sangatlah tidak lazim. Alasan kedua, mereka akan kesulitan melacak seseorang dengan nama hanya satu suku kata. Bayangkan bila seseorang punya nama hanya Abdullah. Maka ketika harus dilacak di mesin pencari, maka jutaan nama Abdullah akan muncul, dan pihak imigrasi akan kesulitan mengidentifikasi orang yang sesungguhnya yang mereka cari.
Pengalaman tak berkesan yang saya dapatkan di imigrasi Singapura, juga terkait nama. Padahal nama saya sudah terdiri dari tiga suku kata. ‘Kesan’ teroris dalam nama seseorang menjadi salah satu alasan bagi pihak imigrasi untuk melakukan wawancara panjang dengan sang pemilik nama. Kesan teroris yang dimaksud adalah nama yang sangat Islami. Berdasarkan pengalaman kawan-kawan, dan juga saya sendiri, yang sering terjaring razia petugas imigrasi adalah nama yang sering digunakan oleh teroris, seperti Hasan, Imran dan Muhammad. Dua kali saya terjaring razia imigrasi Singapura, saya selalu mencurigai alasan nama, karena ada unsur Ali dan Hasan lah yang menjadi penyebabnya.
Namun razia terkait nama tidak berarti semua yang bernama Abdullah atau Muhammad akan otomatis terjaring. Asal negara pun menjadi alasan. Pendatang asal negara Timur Tengah bernama Mohammed atau Abdullah, dijamin aman masuk Singapura, sepanjang mereka punya visa. Namun yang sering terjaring, justru dari negara tetangga sang negeri Singa.
Siapa lagi kalau bukan Indonesia.