INIPASTI.COM – SEHARIAN kemarin Mukidi uring-uringan. Nunding sahabatnya yang sedang beribadah di Mekah tidak bisa dihubungi. Dia ingin konfirmasi soal Travel Biro Perjalanan Haji tempat mereka berdua mendaftar untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Kantor travel itu sudah sepekan ditutup, sejak Nunding berangkat meninggalkan dirinya. Kini Mukidi mulai curiga, kenapa dirinya gagal berangkat haji, dan kenapa Nunding kawan karib yang sangat dipercayainya itu bisa lolos. Jangan-jangan Nunding main mata. Jangan-jangan ada orang dalam yang ngatur. Jangan-jangan Nunding nyogok. Lusinan asumsi berkelindan di batok kepalanya, keluar masuk, tensinya berubah-ubah. Tempo-tempo pikirannya dibanjiri kecurigaan, lalu dialiri ketabahan, menganggap sebagai ujian, ia berkesimpulan belum dipanggil untuk bertamu di rumah Allah.
Kesabarannya terus berlapis, membumbung, menekan amarah fitnah dan kecurigaannya.
Baca Juga: Mukidi Bertemu Nunding Soal āBerakā & āKencingā
Akhirnya ia mengakui kecerdikan Nunding. Sejak kecil Nunding sudah menunjukkan ketangguhannya melucuti keampuhan kawan dan lawan-lawannya. Pada usia kelas lima SD, Nunding pernah tinggal kelas. Padahal ia lebih cekatan dari Mukidi, lebih pandai dari Mukidi. Sejak kecil, Mukidi dikenal sebagai pribadi yang cuek, suka tidur di kelas, tapi rajin mengerjakan PR, termasuk mengerjakan PR-nya Nunding. Inilah satu-satunya kecurangan Mukidi, yang tidak pernah ia sadari hingga ia berusia tua. Pada masa dulu, selalu ada anak-anak di setiap sekolah yang tinggal kelas, kadang-kadang bukan karena bodoh, tapi soal kejujuran. Kejujuran melebihi penilaian angka-angka pada setiap mata pelajaran. Disinilah letak keunggulan Mukidi, yang membuat ia bisa melangkah lebih duluan dari Nunding meninggalkan desanya melanjutkan sekolah di ibu kota kecamatan.
Baca Juga: Mukidi Ditawari Dalang Shabu-shabu
Ingatan Mukidi terus mengembara di masa lalu. Dia mulai ungkit-ungkit, kenapa Nunding bisa bersama-sama masuk tes di perguruan tinggi, padahal ia pernah tinggal kelas. Perlahan-lahan ia mengumpulkan ingatannya, ternyata semua tahun ijazah mulai dari SD hingga SMA antara Mukidi dan Nunding tidak berbeda. Mukidi masih menyimpan semua dokumen milik Nunding, yang menerangkan perjalanan karir pendidikannya. Dari bundelan itu, Mukidi berkesimpulan, Nunding telah membuat ijazah SD palsu. Ia terus bergumam sendiri,….
Bukankah pak bos Nunding pernah tinggal kelas. Mukidi sekonyong-konyong seperti sedang bertanya kepada Nunding. Bagaimana mungkin pak bos Nunding bisa melanjutkan sekolah SMP pada tahun yang sama dengan saya? Mukidi terus mengejar, seperti anak gembala yang mengejar angin, ketika binatang gembalaannya lepas dari pengawasannya.
Tatapan Mukidi mulai muram gulana, tangannya ikut loyo seperti tak bertulang, kedua telapak tangannya menempel di dagunya. Ia sedang berusaha menarik kembali ingatanya sejak 40 an tahun yang lalu, ketika ia mulai bersorak dengan Nunding kecil. Rentetan pengalaman berkawan dengan Nunding mulai keluar masuk dalam ingatannya, sesekali tersimpan sebagai memori yang indah. Pada spot yang lain, pikiran Mukidi menggambarkan kecurigaan. Tapi buru-buru ia menghalaunya.
Selama ini, dalam pertemanannya dengan Nunding, Mukidi tidak pernah membuka telinga dan matanya tentang kehinaan Nunding yang banyak dibincangkan orang.
Sebagai sahabat, saya tidak akan membiarkan orang lain mengguncingkan kenistiaan Nunding.
Baca Juga: Mukidi Nonton āUang Panaiā
Tapi kini seperti ada kekuatan besar yang mengungkit-ukit kesangsian terhadap Nunding. Ketika Nunding ditangkap aparat keamanan karena kasus korupsi, banyak media yang memberitakan Mukidi diseret-seret untuk meringankan hukuman Nunding. Mukidi benar-benar ikut dihukum karena ikut membantu Nunding untuk sekongkol melakukan pelanggaran hukum. Hingga disini, Mukidi masih setia bersahabat dengan Nunding. Semenjak bertobat, Mukidi diliputi keresahan yang mendalam. Kegalauannya terus membuncah setelah publik mengaguminya sebagai dai yang bicara dengan akal sederhana, dan mengutamakan kejujuran.
Akankah Mukidi bakal balik kanan meninggalkan Nunding, lantaran ia batal naik haji? (Mammu)