Penulis: Hugh Schofield (BBC News, Paris)
SELAMA 18 bulan terakhir dari teror kaum jihadis di Prancis, siatu pola baru muncul: pola yang semakin memburuk.
Jika serangan pada Januari 2015 ditujukan kepada kelompok-kelompok tertentu–orang Yahudi dan para penghujat agama–maka serangan susulan pada November lebih bersifat indiskriminatif, tidak pandang bulu. Serangan teroe di Bataclan dan di kafe-kafe, yang jadi sasaran mereka adalah kaum muda, yang dianggap sebagai hedonis Eropa.
Kali ini, serangan terornya melangkah lebih jauh.
Di Nice, sasarannya adalah orang-orang biasa–para keluarga dan para sahabat–yang kegiatan yang kalaupun dianggap provokatif, hal itu tak lebih dari sekadar mengikuti suatu perayaan nasional. Sepuluh anak kecil termasuk di antara mereka yang tewas.
Pada saat pemerintah tengan memikirkan langkah untuk merespons serangkaian tindakan kejam tersebut, ada satu hal yang tampak nyata. Persiapan keamanan yang paling komprehensif-menyeluruh sekalipun tidak akan menghentikan serangan seperti yang terjadi pada Kamis lalu. Bahawa dewasa ini, bukan lagi jaringan intrik yang berasal dari Timur Tengah seperti yang terjadi di Bataclan, yang telah dipersiapkan beebulan-bulan, dengan menyelundupkan imigran dan membucurkan uang secara rahasia. Kali ini, pelakunya adalah the guy nest door, tetangga sebelah.
Terorisnya adalah orang dari lingkungan sendiri.
Mohamed Lahouaiej-Bouhlel, yang melakukan serangan di Nice, tidak memiliki latar belakang sebagai kelompok Islamis. Dia hanya pengemudi truk yang berperi laku buruk, yang tingga di sebuah flat di kota, dan beberapa hukuman akibat tindak kekerasan kecil yang dilakukannya. Dia sama sekali bukan sosok spesial.
Namun, dia telah memerintahkan dirinya untuk melakukan tindakan tak terbayangkan biadabnya, dengan sengaja menabrakkan truk seberat 19 ton dalam kecepatan tinggi ke arah kerumunan orang-orang sekotanya.
Asumsi yang ada adalah bahwa dia telah “meradikalisasikan dirinya sensiri”: dengan kata lain dia telah termakan oleh propaganda kaum jihadis yang berasal dari apa yang dinamakan Islamic State (IS), dan mengangkat duka level pribadi ke level alam semesta.
Larossi Abballa, yang membunuh dua polisi di rumah mereka di Magnanville, sebelah barat Paris, memiliki latar belakan yang mirip.
Dia juga penjahat biasa–tidak menampakkan kecenderungan religius apa-apa–yang kemudian beralih rupa oleh tindakan berdarah.
Ciri yang sama dari kedua orang itu bukan sekadar mereka sama-sama lemah dalam hal ideologi Islam. Mereka pun sama-sama memiliki kebencian: kebencian kepada Prancis, kebencian terhadap simbol-simbolnya, kebencian terhadap apa yang diperjuangkannya. Itu adalah masalah mengerikan yang dihadapi oleh siapapun yang menjabat sebagai pemerintah Prancis.
Ada berpuluh-puluh ribu pemuda muslim yang merasakan kebencian seperti itu terhadap negeri yang dalam teori merupakan negeri mereka sendiri. Biasanya kebencian itu tidak bersumber dari agama, namun semakin lama agama dijadikan sebagai wujud ekspresinya.
Meski demikian, sebagian besar dari mereka tidak akan menjelmakan perasaan tersebut mereka ke dalam tindak kekerasan. Namun, beberapa orang akan melakukan tindakan tersebut, lebih-lebih lagi setelah IS kini menyerukan kepada para calon jihadis untuk tidak usah berangkat ke Syria, cukup melakukan apa yang dapat mereka lakukan di rumah sendiri.
Dan, apa yang diperlihatkan di Nice, dan dalam skala yang lebih kecil di Magnaville, adalah bahwa pembunuh yang sudah berbulat tekad selalu dapat menemukan cara untuk melakukan aksinya.
Tentara yang berjaga-jaga di jalanan, pemeriksaan tambahan di stasiun kereta api, penjagaan di sinagog–itu semua akan mencegah terjadinya serangan di tempat tersebut pada waktu tertentu.