Penulis: Ir. Muhammad Zaiyani, IAI.
KITA pasti kenal Bapak Jusuf Sjarif (JS) Badudu? Sastrawan dan ahli Bahasa Indonesia yang menghiasi acara Pembinaan Bahasa Indonesia TVRI pada tahun 80-an. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, adalah tagline acara tersebut. Tanggal 12 Maret 2016 beliau tutup usia di Bandung, dan karena jasanya dalam pengembangan Bahasa Indonesia beliau dimakamkan di TMP Cikutra Bandung.
Yang masih penulis ingat adalah siaran beliau perihal Akronim. “Akronim adalah singkatan yang dibaca seperti kata,” kata JS Badudu. Pembentukan akronim adalah mengambil satu suku kata/sebagian suku kata pada kata kata yang akan disingkat, sehingga singkatan tersebut bisa diucapkan seperti satu kata yang baru. Contohnya : Pelita (Pembangunan Lima Tahun); Sinetron (Sinema Elektronik); Pemkot (Pemerintah Kota), dll.
Di Indonesia banyak muncul akronim politik yang dijadikan jargon pada saat kampanye. Celakanya, akronim tersebut disesuaikan dengan kata yang sudah dikenal oleh masyarakat. Akibatnya, arti dan makna sebuah kata (yang dijadikan jargon) tidak lagi mempunyai arti dan makna sebenarnya. Kualitas sensitifitas kata itu menjadi bertambah dan tafsiran maknanya pun dapat disalaharahkan, dengan demikian arti dan makna sebuah kata berubah dan bergeser sesuai dengan maksud dan tujuan politis jargon.
Lembaga kepolisian memegang rekor tertinggi dalam menciptakan akronim-akronim baru. Contohnya, “lakalantas” untuk “kecelakaan lalu lintas”, “curanmor” untuk “pencurian motor”, dll. Atas kenyataan itu, penghayat bahasa Indonesia melakukan kritik karena mereka menilai hal ini “mengganggu” tatanan bahasa kita.
Pemkot Makassar juga tidak mau kalah meng-create akronim-akronim yang agak dipaksakan untuk mendapatkan akronim-akronim bercita-rasa Makassar. Akronim tersebut disuaikan dengan kata-kata tertentu yang ada dalam bahasa Bugis Makassar atau Bahasa Indonesia. Bahasa Makassar “tangkasaki” (bersih) di-create makna barunya menjadi Truk ANGKutAn SAmpah KIta, Bahasa Bugis “mabello” (mata belalak) menjadi MAkassar BErsih LLOrong, walaupun huruf “L” nya kelebihan, Bahasa Indonesia “longgar” (lapang, luas) menjasi LOroNG GARden, menggabungkan bahasa Indonesia dan Inggris dengan tata bahasa Indonesia yang salah pula. Nama gadis cantik “Lisa” diplesetkan manjadi LIhat Sampah Ambil. “Gendang Dua” (gandang pada musik dangdut) mempunyai arti baru di Makassar yaitu tempat sampah. Masih banyak lagi akronim/jargon lainnya yang membuat kita surprise dengan arti-artinya yang baru seperti MTR (Makassar Tidak Rantasa’), APARONG (APArtemen loRONG), BABERONG (BhAkti BErsih loRONG), MABASA (MAkassar beBAs SAmpah), dll.
Apakah pembentukan akronim ini sudah sesuai dengan kaidah tata bahasa kita? Apakah ini akan memperkaya perbendaharaan bahasa kita? Atau, apakah ini akan merusak bahasa kita? sejumlah pertanyaan mengganggu pemikiran kita semua.
Semakin lama, semakin banyak akronim diperkenalkan di dalam bahasa Indonesia; dan semakin susah pula orang-orang asing mengerti bahkan orang Indonesia pun banyak yang tidak mengerti istilah-istilah tersebut. Pada dasarnya semua bahasa-bahasa di dunia mengunakan singkatan dan akronim, namun di Indonesia lebih longgar. Tidak ada peraturan nasional untuk dipatuhi jika membuat singkatan atau akronim yang baru.
Kiranya para pakar Bahasa Indonesia seperti Almarhum JS Badudu wajib melakukan kritik terhadap akronim yang merusak bahasa. Sementara itu, politisi yang akan meng-create akronim politik sebaiknya berkonsultasi kepada pada pakar bahasa. Tidak serta merta mem-publish akronim politik hanya karena enak/pas dibaca dan didengar. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar harus kita mulai sekarang. Siapa lagi yang akan menjaga bahasa Indonesia kalau bukan kita semua.