INIPASTI.COM, KARENA politik adalah seni permainan untuk menguasai sebanyak mungkin sumber daya, maka etika, moral, prinsip dan idiologi seringkali dipertukarkan sesuai tujuan politik. Dalam politik, pertukaran nilai-nilai adalah bagian yang selalu melekat pada setiap manuver dan tindakan politik para politisi. Itu sebabnya, politisi membutuhkan arena dan momentum yang sesuai. Kelihaian memilih panggung dan menggunakan waktu yang tepat menjadi syarat pencapaian tujuan politik.
Menarik disimak, sejumlah adegan politik para elite yang terjadi akhir-akhir ini, terutama menjelang Pilkada serentak 2017, 2018, Pileg dan Pilpres 2019. Ada dua nama yang paling sering dikaitkan dengan drama politik: Jokowi dan Ahok.
Pada 27 Juli yang lalu, Jokowi melakukan reshuffle yang kedua, dalam dua tahun kepemimpinannya. Sementara Ahok melakukan berbagai adegan politik, salah satunya, memastikan dirinya maju melalui jalur partai politik, setelah lama tidak memercayai kekuatan parpol. Atas keputusan Ahok itu, teman-teman Ahok meradang, meskipun akhirnya dapat memahami keputusan politik Ahok.
Dua drama politik ini nyaris terjadi bersamaan, setelah sebelumnya Ahok memperlihatkan kesaktiannya “melawan” Menko Kemaritiman Rizal Ramli, yang kemudian terhempas dari kabinet Jokowi.
Menurut Imam Mujahidin peneliti Sosiologi Kekuasaan Unhas, sikap Jokowi cenderung membangkitkan rangkaian tafsiran terus mengalir, mencoba terjemahkan gerak-gerik politik para elite kita. Ada yang bilang reshuffle ini untuk membersihkan anggota kabinet dari faksi-faksi sekecil apapun, menghadapi 2019. Kebetulan kita dapat melihat semua menteri yang dekat dengan JK dibersihkan, anak-anak yang berlatar belakang HMI itu hampir semuanya diganti; Anis Baswedan, Yudy Crisnandi, dan Fery Mursidan Baldan. Itu juga yang dialami menteri profesional yang cukup lengket dengan JK, Sudirman Said. Sofyan Djalil yang sangat dikenal dekat dengan JK sudah menduduki tiga posisi menteri dalam dua tahun pemerintahan Jokowi. Bisa jadi, tukar menukar posisi menteri sebagai bagian untuk mengingatkan orangnya JK untuk tidak macam-macam.
Secara terbuka Jokowi lantang menyebutkan reshuffle ini untuk kepentingan perbaikan ekonomi, yang terus mengalami kegetiran. Dia juga mengatakan, kabinetnya tidak boleh gaduh. Sebagai orang Jawa Jokowi terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara harmoni, dibicarakan diam-diam. Ignasius Jonan dan Rizal Ramli korban dari prinsip ini. Ada dua menteri lain yang suka gaduh di ruang publik yang masih bertahan, Yassona Laoly dan Imam Nahrawi. Keduanya dibentengi oleh partai politik yang mendukung Jokowi, PDIP dan PKB. Demikian Imam Mujahidin menjelaskan soal alasan reshuffle Pemerintahan Jokowi.
Menghadirkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, bisa menimbulkan banyak tanya. Sri menganut faham “kanan” lebih pada makro stabilitas, dengan gaya bill out keuangan. Jokowi cenderung sangat kiri, bicara soal mikro ekonomi, kemiskinan dan pemerataan. Dua hal yang terkesan antagonistis, etosnya berbeda.
Dari sekian fakta reshuffle itu, apakah ada drama politik di baliknya. Apakah betul, satu-satunya alasan membongkar pasang menteri untuk memperkuat stabilitas ekonomi? Banyak yang berpendapat lain. Nuansanya sangat politis. Jokowi hendak berikrar kepada publik, setelah dia mengontrol Golkar, dia telah menguasai elite politik Indonesia. Jokowi tidak hanya memiliki JK dan Megawati, yang sewaktu-waktu bisa mengancamnya. Tapi kini Jokowi sudah menggenggam Golkar dengan seluruh turunannya (Nasdem dan Hanura).
“Itu sebabnya dia memasukkan Wiranto, paling tidak untuk mengimbangi kuasa tunggalnya Luhut Panjaitan,” lanjut Imam Mujahidin.
Sampai di sini tarian politik nasional semakin berwarna. Karakter aslinya Jokowi sebagai orang Jawa Solo, yang sangat menjaga keharmonisan kian tampak. Tapi apakah PDIP, Megawati dan JK akan berdiam diri? Apakah PDIP tidak merasa lapangan politiknya diokupasi perlahan-lahan oleh penumpang gelap?
“PKB menyebut Golkar seperti burung di musim panen,” tambah Imam.
Kegundahan PDIP akan vulgar terlihat pada saat PDIP melakukan pilihan pada Pilkada DKI. Kalau PDIP mengusung kandidat lain (bukan Ahok), maka itu pertanda, diam-diam PDIP berpikir lain terhadap tindakan Politik Jokowi dan Ahok. Apalagi kalau PDIP bersepakat dengan PKS untuk mendorong kandidat lain melawan Ahok. Bahkan di sana PDIP akan mulai menyerang secara sembunyi-sembunyi kekuatan Jokowi dan Ahok.
“Kita akan menunggu episode sinetron politik selanjutnya,” pungkas Imam Mujahidin.