INIPASTI.COM – Belakangan ini, muncul banyak perbincangan mengenai sejumlah mahasiswa Indonesia yang diduga mengalami eksploitasi selama menjalani program ferienjob (magang) di Jerman.
Salah satu mahasiswa, yang kita kenal dengan inisial RM dari Universitas Jambi (Unja), membagikan pengalaman pahitnya selama menjalani program tersebut.
Pendamping Hukum RM, sekaligus Direktur Beranda Perempuan Indonesia, Ida Zubaidah, mengungkapkan bahwa kliennya tertarik dengan program magang tersebut karena dijanjikan bahwa kegiatan tersebut dapat dikonversi menjadi nilai mata kuliah sejumlah 20 SKS.
Menurut Ida Zubaidah, pada awalnya mahasiswa-mahasiswa tersebut sangat tertarik dengan program tersebut karena pihak universitas dan agensi gencar melakukan sosialisasi bahwa program ini merupakan bagian dari MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dan akan diakui sebagai 20 SKS, serta dijanjikan mendapat gaji sebesar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta.
Namun, setelah tertarik untuk mengikuti program Ferienjob, RM dan teman-temannya diminta untuk membayar biaya pemberkasan sebesar Rp 5 juta sampai Rp 7 juta, serta menjalani serangkaian tes, termasuk psikotes. Tidak hanya itu, mereka juga diminta untuk membayar biaya tiket pesawat senilai Rp 25 juta – Rp 27 juta.
Ida Zubaidah menegaskan bahwa mahasiswa-mahasiswa ini sejak awal sudah mengeluarkan banyak biaya untuk dokumen legal, namun mereka tidak memiliki cukup uang.
Sebagai hasilnya, mereka tidak memiliki pilihan selain menerima tawaran dari agensi untuk menggunakan dana talangan sekitar Rp 30 juta sampai Rp 50 juta yang akan dipotong dari gaji mereka selama bekerja di Jerman.
Setelah tiba di Jerman, RM dan rekan-rekannya tidak langsung mendapatkan pekerjaan, bahkan mereka diminta untuk mencari penginapan sendiri. Ketika akhirnya mendapatkan pekerjaan, RM harus menandatangani kontrak dalam bahasa Jerman yang tidak dipahaminya.
Ia kemudian ditempatkan di bagian sortir buah, di mana ia harus bekerja selama 8 hingga 11 jam sehari. Namun, setelah satu minggu bekerja, RM tiba-tiba dipecat dan dipindahkan ke perusahaan lain.
Menurut Ida, RM kemudian bekerja di perusahaan pengangkutan barang, di mana ia harus mengangkut paket yang beratnya mencapai 5 kg hingga 30 kg.
Selama tiga bulan di Jerman, RM harus pindah penginapan sebanyak sembilan kali, dengan jarak tempat tinggal yang jauh dari tempat kerja, memakan waktu perjalanan 5 hingga 6 jam.
Ida juga menyebutkan bahwa penyelenggara sebelumnya berjanji untuk menanggung biaya penginapan, namun janji tersebut tidak dipenuhi sehingga RM sempat diusir dari penginapannya.
Selama di Jerman, RM juga mengalami sakit karena harus beradaptasi dengan cuaca yang dingin, namun pihak penyelenggara tidak memberikan bantuan atau perhatian apa pun.
Ida menegaskan bahwa semua hal yang terjadi selama proses kerja tidak pernah dijelaskan secara detail pada saat sosialisasi di kampus oleh pihak universitas maupun penyelenggara.
Kasus ini menunjukkan perlunya perlindungan yang lebih baik bagi mahasiswa Indonesia yang mengikuti program magang di luar negeri.
Adanya kesenjangan informasi dan perlakuan yang tidak adil seperti yang dialami oleh RM dan rekan-rekannya harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan lembaga terkait agar kasus serupa tidak terulang di masa depan (sdn)