INIPASTI.COM, JAKARTA – Mayoritas partai oposisi pada Pilpres 2019, tampak mendekat ke Koalisi. Mulai dari, PAN, Demokrat, dan terbaru Prabowo Subianto yang diberitakan mesra dengan Joko Widodo. Gerindra menawarkan diri, dan gayung bersambut dari presiden terpilih.
Lantas bagaimana nasib demokrasi di Indonesia jika tanpa oposisi? Seperti apa pula proses check and balances setiap kebijakan di negeri ini jika seluruh partai oposisi mendukung Presiden Jokowi dalam 5 tahun pemerintahan ke depan?
Hal itu pun ditanggapi oleh Fahri Hamzah dan Rocky Gerung. Bagi keduanya, sangatlah penting adanya oposisi sebagai pembela kepentingan rakyat jika ada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia.
“Pada dasarnya, kekuasaan di Indonesia ini adalah milik rakyat, mencerminkan kedaulatan rakyat. DPR diberi tugas untuk mengawasi pemerintahan, presiden dan wakil presiden ditugaskan untuk menjalankan pemerintahan. Keseimbangan inilah yang harus kita jaga,” jelas Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pada acara Dua Sisi yang disiarkan pada 17 Oktober 2019 kemarin.
Menanggapi pertemuan antara tokoh-tokoh politik, dalam hal ini ketua umum partai politik dengan Prabowo dan Jokowi, menghadirkan kekhawatiran masyarakat. Fahri memandang bahwa akan hilangnya fungsi DPR jika seluruh partai berkoalisi.
“Ada satu struktur yang dikhawatirkan oleh masyarakat, yang namanya lembaga legislatif. Apakah nanti dalam 5 tahun ke depan, lembaga legislatif ini akan tidur? Tidak melakukan fungsi-fungsi, terutama fungsi pengawasan. Padahal anggota legislatif itu dipilih oleh rakyat mencerminkan kepentingan rakyat,” paparnya.
“Tadi Pak Emil Salim bikin tweet yang mengatakan, ‘Dalam sumpah anggota DPR, anggota MPR, anggota DPD, tidak ada satu pun kata partai politik di dalamnya. Yang adalah adalah kata rakyat, melayani rakyat, melayani pemilih,…’ dan seterusnya. Karena itulah, sebetulnya (kekhawatirannya) adalah apa yang akan menjamin bahwa seluruh anggota dewan ini bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan partai politik? Mungkin itu sumber kecemasannya,” tambah Fahri Hamzah.
Meskipun, dia melihat ada niat baik dari Presiden Jokowi dalam merangkul semua partai, Fahri menyarankan agar Presiden Jokowi melakukan politik kenegaraan, bukan politik pribadi.
Jika politik kenegaraan yang dijalankan, kata Fahri, maka pemerintah akan memperkuat DPR. Hal itu supaya fungsi DPR sebagai pengawas pemerintahan akan efektif.
“Bahkan ketua partai itu menurut saya harus merampas kewenangannya, untuk kemudian sedikit-sedikit ngatur anggotanya di situ, sehingga kemudian kong kalikong yang terjadi. Itu yang rakyat ingin tahu, ini benar-benar mau memperkuat sistem kenegaraan kita, atau malah sistem kenegaraan itu mau dijadikan permainan dari elite-elite yang jumlahnya segelintir? Itu kecemasannya saya kira?,” urainya.
Di tempat yang sama, pada acara yang mengusung tema ‘Jika Oposisi “Seranjang” dengan Pemerintah’, Rocky Gerung kembali mengeluarkan satirenya. Dia mengungkapkan bahwa hal itu ibarat tidur bersama musuh (Sleeping with Enemy).
“Satu ranjang tapi dua selimut itu juga kurang nikmat. Ini semacam sleeping with enemy, tidur bersama musuh. Problem kita hari ini, kesulitan untuk merumuskan posisi. Di situ ada upaya untuk berkoalisi secara terbatas, di pihak sini ada upaya untuk mengintervensi kebijakan,” sindirnya.
“Oposisi tugasnya mengintervensi kebijakan, atau bahkan menginterupsi kebijakan. Sekarang kita mau ukur, kapan dia mau interupsi kalau dia ada di ranjang yang sama?,” sambungnya.
Pengamat politik ini pun menyoroti berbagai partai politik, baik yang sejak semula mendukung Jokowi maupun yang baru mendekat. Seharusnya, kata Rocky, partai yang sejak semula mendukung koalisi, menolak partai-partai oposisi jika ingin bergabung.
“Kalau kalian memang menganggap bahwa Prabowo itu akan menjadi duri dalam daging, ya cabut durinya tuh, nggak usah basa-basi,” sindirnya ke Politisi Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago yang juga hadir pada acara tersebut.
Dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Prabowo yang memiliki seluruh konsep bernegara, lanjutnya, maka Rocky Gerung menilai bahwa sebaiknya Gerindra tetap di luar kekuasaan. Hal itu guna adanya wadah yang menampung suara publik bila nanti ada kekacauan dalam kekuasaan.
“Tapi Pak Prabowo bilang, ‘saya mau menyumbang konsep itu pada kekuasaan’. Mungkin dia terlalu berlebih cerdasnya, dia mau nyumbang sebagian pada kekuasaan. Tapi bagi saya, saya anggap itu adalah pertimbangan pragmatis. Dari segi etika politik tetap tidak boleh, karena itu saya tetap mengatakan saya beroposisi, walaupun saya tidak punya partai,” tukasnya.
Fahri Hamzah pun mendukung pernyataan Rocky Gerung. Dia menilai bahwa memang ada persoalan rumit yang tidak bisa disederhanakan. Baginya, kekhawatiran Rocky yang mewakili suara rakyat itu cukup mendasar.
“Yang dikhawatirkan Bung Rocky adalah tiba-tiba pimpinan parpol ini, kongko-kongko duduk, dia menterpedo seluruh kehendak rakyat. Karena kemudian dia melahirkan anggota DPR yang lemah,” tegasnya.
Olehnya, yang harus dilakukan saat ini menurut Fahri adalah fokus pada parlemen. Anggota parlemen harus diperkuat, undang-undang harus menjamin bahwa anggota DPR itu pilihan rakyat, bukan pilihan parpol.
“Itulah yang akan menjamin orang (anggota DPR,red) itu ngomong (menyampaikan aspirasi rakyat,red), tidak gampang diintervensi. Itu yang sebenarnya yang pengen kita liat gitu loh,” kuncinya.
Rocky pun menyambung ucapan Fahri Hamzah bahwasanya oposisi sangat diperlukan. Karena oposisi adalah jalan pikiran alternatif bagi rakyat.
“Jadi dalam keadaan tidak ada oposisi, itu berarti tidak ada jalan pikiran alternatif. Kalau rezim mengalami krek, siapa yang akan menyuarakan suara rakyat? Itu berarti akan ada duel habis-habisan antara kekuasaan dan rakyat?,” ungkap Filsuf asal Manado ini.
Bagi Rocky, oposisi lah yang selama ini mengartikulasikan pikiran publik. Sehingga dia mengkhawatirkan adanya parlemen jalanan jika oposisi ikut berkoalisi.
(Sule)