INIPASTI.COM, MAKASSAR – Warisan Kerajaan Gowa terus mendapat ujian. Baru-baru ini, ada perebutan warisan yang cukup pelik, terjadi antara pemerintah daerah setempat dengan para ahli waris Sultan Hasanuddin itu, yang kini tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Mereka hanya status kasta yang tak pernah lekang. Siapapun tahu, garis keturunan Tumanurung, pendiri Kerajaan Gowa pada abad ke-14, saat ini masih bertahan hidup.
Ada dua nama yang sering disebut-sebut sebagai ahli waris yang sah. Salah satunya seharusnya berhak menjadi Sombayya, gelar tertinggi dalam pemerintahan Kerajaan Gowa yang setingkat dengan Raja. Namun terjadi dualisme putra mahkota dalam garis keturunan Ayam Jantan dari Timur itu.
Dua nama itu adalah Andi Maddusila Idjo dan Andi Kumala Andi Idjo. Keduanya saling mengklaim sebagai pewaris tahta yang sah. Penobatan pertama Andi Maddusila, dilaksanakan pada 17 Januari 2011 oleh Ketua Dewan Hadat Bate Salapang (DHBS), Abd Razak Dg Jarung Gallarang Tombolo. Ritual penobatan itu menempatkan Andi Maddusila sebagai Raja Gowa ke-37 bergelar Andi Maddusila Patta Nyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II.
Ahli waris lainnya, Kumala Andi Idjo juga melakukan klaim yang sama. Dari penelusuran di Wikipedia, nama Kumala Andi Ijo yang justru muncul sebagai Sombayya Kerajaan Gowa ke-37 bergelar I Kumala Andi Idjo Sultan Kumala Idjo Batara Gowa III Daeng Sila Karaeng Lembang Parang, sejak 2014 lalu. Penobatan Kumala Idjo, dilaksanakan pada Selasa, 2 September 2014 sebagai Raja Gowa ke-37 oleh DHBS yang juga dipimpin ketuanya, H Abd Razak Tate Dg Jarung dan delapan orang anggotanya.
Pada 29 Mei 2016 lalu, Andi Maddusila kembali melakukan ritual pengangkatan dirinya sebagai Sombayya ri Gowa ke-37. Ini adalah penobatan kedua kali yang dilakukan Andi Maddusila untuk mengambil alih tahta Kesultanan Gowa dari tangan adiknya, Kumala Andi Idjo. Namun penobatan yang kedua kali ini tidak mendapat pengakuan dari pihak lain di luar kubu Andi Maddusila.
Andi Maddusila (64 tahun) yang biasa dipanggil Patta Nyonri, adalah anak pertama keturunan Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin. Sementara Kumala Andi Idjo (55 tahun) adalah putra bungsu sang Raja terakhir Gowa itu.
Perebutan posisi sebagai putra mahkota di antara kedua bersaudara ini, menjadi satu alasan, betapa rapuhnya penjagaan nilai adat yang dimiliki sebuah warisan budaya bangsa. Kerajaan Gowa yang kini tak memiliki rakyat dan kekuatan pemerintahan, masih menjadi simbol sisa kejayaan masa lalu yang menjadi permainan pihak yang tak rela kehilangan status itu.
Namun warisan itu sendiri tak terjaga baik. Selentingan informasi yang beredar di tengah masyarakat menyebutkan bahwa benda-benda pusaka yang seharusnya tersimpan dan terjaga baik sebagai bukti sejarah kekuatan Kerajaan Gowa di jaman dulu, satu persatu sudah hilang dari tempatnya.
Kerapuhan pun sangat jelas tampak dalam tubuh jajaran para ahli waris Istana Balla Lompoa, baik ahli waris Sombayya maupun Bate Salapang. Di mana kah ada pernah pemangku adat -orang yang sama, yang berhak mengangkat dan menobatkan seseorang menjadi raja, melakukan kesalahan begitu fatal? DHBS telah melakukan ritual penobatan dua orang ahli waris Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, dua-duanya menjadi Raja Gowa ke-37.
Pada Januari 2011, DHBS menobatkan Andi Maddusila sebagai Sombayya ri Gowa ke-37 dalam prosesi adat. Selanjutnya pada September 2014, DHBS melantik Kumala Andi Idjo sebagai Raja Gowa, juga yang ke-37. Padahal saat penobatan itu, DHBS dipimpin orang yang sama, H Abd Razak Tate Dg Jarung, bersama delapan anggota lainnya. Dualisme ini tentunya berefek buruk bagi Kerajaan Gowa itu sendiri.
Dampaknya cukup terasa. Kerapuhan dalam diri para ahli waris yang tidak mampu menempatkan diri sebagai penjaga amanah warisan budaya, telah dimanfaatkan banyak pihak di luar garis kasta terhormat itu dengan cara yang tidak elegan. Salah satunya adalah hadirnya sebuah Lembaga Adat Daerah (LAD) dan mengukuhkan ketuanya -yang dijabat oleh kepala pemerintahan daerah setempat, sebagai raja baru di tengah kekisruhan klaim putra mahkota para ahli waris yang sah.