INIPASTI.COM – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat calon presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu telah mengejutkan banyak pihak dan memunculkan keraguan akan legitimasi MK.
Keputusan ini memicu perdebatan dan memicu keprihatinan tentang independensi dan integritas MK dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi.
Keputusan ini memungkinkan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam Pilpres 2024, meskipun usianya belum mencapai 40 tahun, dengan syarat dia memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau dalam jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Sejumlah pakar hukum tata negara, seperti Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS), mengkritik MK dengan keras.
Mereka berpendapat bahwa MK sekarang tidak lagi berfungsi sebagai penjaga konstitusi, tetapi sebagai penjaga keluarga.
Kritik ini muncul karena Ketua MK, Anwar Usman, memiliki hubungan keluarga dengan Gibran sebagai paman dan keponakan.
Para pakar ini menganggap reputasi MK telah hancur dan meragukan kemampuannya sebagai lembaga penegak konstitusi.
Menurut Castro, keputusan MK untuk mengakomodasi kepentingan Gibran dalam Pilpres 2024 akan berdampak besar, terutama pada legitimasi Pemilu 2024. Hal ini mengancam reputasi dan kredibilitas MK dalam mata publik.
Untuk mengembalikan kehormatan MK, Castro menyarankan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk memproses etika Ketua MK Anwar Usman, dengan alasan terlibat dalam konflik kepentingan yang menguntungkan ponakannya sendiri.
Dalam jangka panjang, ia berpendapat bahwa MK harus menjauhkan diri dari kepentingan politik dengan mereformasi proses seleksi dan pengisian hakim-hakim MK agar lebih independen dan mandiri.
Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia juga mengungkapkan bahwa reputasi MK sudah turun sebelum keputusan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
MK sudah menjadi sasaran ejekan publik, dan kritik terhadap lembaga ini semakin meningkat. Kepercayaan publik terhadap MK adalah aset penting bagi legitimasi lembaga pengadilan, dan kritik-kritik ini telah merusak reputasi MK.
Bivitri juga menyebut bahwa jika MK mengabulkan permohonan yang mengakomodasi kepentingan Gibran dalam Pilpres 2024, ini akan mengukuhkan politik dinasti yang lebih buruk daripada zaman Soeharto.
Herlambang Wiratraman dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan bahwa MK tidak cukup kuat untuk menjadi penyeimbang kekuasaan di tengah penguatan rezim otoritarian dan antidemokrasi.
Ia berpendapat bahwa MK sekarang tunduk pada oligarki politik dan lebih cocok disebut sebagai ‘Mahkamah Kartel’ karena keputusannya cenderung mendukung kepentingan politik oligarki.
Herlambang menyarankan bahwa untuk menyelamatkan dan mengembalikan marwah MK, perlu ada upaya untuk menghapus sistem oligarki yang melekat dalam ketatanegaraan.
Ini adalah satu-satunya cara untuk memulihkan integritas MK dan menjaga kembali legitimasinya sebagai lembaga penegak konstitusi yang independen dan berintegritas (sdn)