Oleh: Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Dalam tulisan sebelumnya, penulis mengupas “7 dosa para perencana kota” (permainan angka, pengendalian yang berlebihan, penanaman modal khayal, mode-mode yang berlebihan, perencana dan pelaksana dipisahkan, sumber daya manusia diabaikan, pertumbuhan tanpa keadilan) (Mahbub Ul Haq, 1983) dan “lima penyakit yang menghinggapi perencana pembangunan kita” (empire builder, cost maximizens, free riders, involutif, sistem yang sakit tersebut kemudian menciptakan korupsi, kolusi dan nepotisme (Rachbini, 2000).
Selain dosa-dosa di atas, masih ada sejumlah dosa kota yang lain, yaitu:
mau kaya tanpa kerja, mau nikmat tanpa hati nurani; pendidikan tanpa karakter; bisnis tanpa moral; politik tanpa prinsip; hukum tanpa keadilan; ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan; dan agama tanpa pengorbanan (Usman, 2023).
Model Pembangunan Propertumbuhan
Nelson (1996) mengindentifikasi sejumlah model pembangunan propertumbuhan, baik yang memiskinkan, merusak demokrasi, lembaga-lembaga lokal, dan lingkungan, maupun yang mensejahterakan orang miskin (pro poor growth). Ada enam jenis pertumbuhan, yaitu: pertumbuhan tanpa lapangan kerja; pertumbuhan yang kejam; pertumbuhan tanpa suara; pertumbuhan tanpa akar; pertumbuhan tanpa masa depan; dan pertumbuhan yang berkeadilan (promiskin).
Suatu realita yang susah dibantah dan dipungkiri, akibat pembangunan yang ”hyper” dan tanpa kendali, banyak kawasan yang dulunya berfungsi sebagai daerah resapan, kawasan lindung, kawasan hijau, hutan mangrove (bakau), pantai, dan ruang terbuka berganti wujud menjadi kawasan komersial. Daerah resapan tersebut berganti menjadi rumah toko (ruko), permukiman, pertokoan, dan fasilitas umum lainnya. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah terlihat sangat giat membangun. Sejumlah kawasan komersial dan bangunan-bangunan berupa ruko dan rumah kantor (rukan) bertebaran di mana-mana dan memenuhi seluruh penjuru kota, wajah kota telah berganti wujud menjadi kota ruko dan rukan. Akses penerapan sistem neo-liberalisme (melepaskan ke sistem pasar) dalam pengelolaan kota tidak efektif mengakibatkan penataan ruko tidak lagi berada di kawasan peruntukannya, melainkan berada di antara rumah-rumah penduduk atau tempat lain yang sebenarnya peruntukannya bukan untuk ruko atau rukan.
Tyranopolis dan Nekropolis
Perkembangan kota yang tidak terkendali akan melahirkan tyranopolis dan nekropolis. Tyranopolis yaitu tahapan kota yang kehidupannya sudah dikuasai oleh tirani, kemacetan-kemacetan, kekacuan pelayanan, kejahatan, dan kriminalitas. Nekropolis yaitu tahapan perkembangan kota yang menuju ke arah kematiannya.
Berbagai persoalan kota secara umum, semoga menjadi referensi bagi pemerintah, legislatif, penggiat, pemerhati, pakar, dan juga para planolog. Problematika perkotaan seantero nusantara, jika diinventaris tidak terbilang, mulai dari pemukiman kumuh dan liar, keogahan sosial warganya, kependudukan, urbanisasi, kualitas air bersih, kualitas lingkungan sosial, transportasi, kemacetan lalu lintas, kepadatan berlebih, banjir, kemiskinan, menyempitnya ruang terbuka hijau, pengangguran dan setengah pengangguran, premanisme, kriminalitas, kota raksasa (excesive size), kekurangan sarana prasarana, berkurangnya tanggung jawab, masalah rasial dan sosial, westernisasi dan modernisasi, perluasan perkotaan, berkurangnya lahan pertanian, dan “seribu satu macam” persoalan kota lainnya.
Permasalahan perkotaan dewasa ini telah mencapai tahap yang sangat kritis dan harus mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah kota. Realita ini bukanlah suatu hal yang didramatisir dan mengada-ada, tetapi suatu fakta yang muncul pada hampir semua kota-kota di Indonesia. Perkembangan pemukiman kumuh, permasalahan pedagang kaki lima, parkir, beban prasarana transportasi, minimnya fasilitas umum dan fasilitas sosial, bahkan adanya kecenderungan implementasi Peraturan Daerah tata ruang oleh para pelaku pembangunan (baca: masyarakat, pengembang bahkan oknum pemerintah kota).
Isu-isu utama pembangunan perkotaan mencakup banyak hal, misalnya urbanisasi, kemiskinan, penurunan kualitas lingkungan hidup, kapasitas daerah untuk pengelolaan kota, pertumbuhan antar kota yang belum seimbang, globalisasi, transportasi, pertumbuhan kota yang kacau dan karut-marut (sprawl), dan lain-lain.
Pada dasarnya, masalah yang melanda hampir semua daerah, baik provinsi maupun kota dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu: pertama, masalah kota yang tidak dapat dilepaskan dari masalah nasional secara keseluruhan bahkan menjadi bagian dari masalah nasional, di antaranya: lambatnya pemulihan ekonomi daerah; masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan; masih terjadinya konflik sosial politik; masih lemahnya penegakan hukum; kebebasan tak terkendali dan unjuk kekuatan anarkis; dan belum memadainya kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur daerah. Kedua, masalah kota yang bersifat khas dan menonjol dan hanya menjadi masalah serius di daerah perkotaan, di antaranya: masih terjadinya ancaman bahaya banjir; belum tertanganinya secara baik sampah kota; belum optimalnya peranserta masyarakat dalam pembangunan; keterbatasan daya dukung lahan dan lingkungan hidup kota; belum tertibnya masalah kota; dan meningkatnya pedagang kaki lima.
Fenomena Ketidak-teraturan
Permasalahan umum yang dihadapi kota-kota di Indonesia hingga kini adalah kecenderungan perkembangan kota yang menunjukkan fenomena ketidak-teraturan (disorder), bahkan cenderung mengarah kepada kekacauan (chaotic), baik dilihat dari segi produk maupun proses (Bambang Hari Wibisono, 2012).
Perkembangan kota yang begitu pesat, menciptakan aneka masalah yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Degradasi lingkungan, kesumpekan, kemacetan, krisis sosial, kerusuhan, kriminalitas merebak di mana-mana, terutama di kota-kota besar, metropolis, dan megapolis. Muncullah kemudian istilah “hyper-cities” yang juga disebut “macrocephaly” atau kota dengan kepala yang membesar, dengan jumlah penduduk lebih dari 15 juta jiwa, yang sangat tidak sehat (Eko Budihardjo, 2010).
Fenomena “sick city, sick people, sick world”, muncul karena kota telah menjadi sumber ketegangan dan stress, sebagai sumber penyakit dalam pembangunan nasional. Warga kota sangat terbebani dan menderita kesengsaraan antara lain akibat apa yang dikenal dengan istilah “existential anxieties”, “employment worries”, dan “information overload”.
Kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok, kecemburuan sosial, rasa tidak berdaya, tertekan, sampai batas toleransi, terlampaui akhirnya menyebabkan ledakan ketidakpuasan. Perusakan, pembakaran, penjarahan, perkosaan merupakan sebentuk ekspresi perlawanan dari kaum yang tersingkir dan tersungkur dalam proses pembangunan kota. Meskipun ada juga dugaan karena permainan politik yang kotor.
Bila kecenderungan semacam ini berlangsung terus, tak ayal lagi kematian manusia di dalam kota akan segera menjadi kematian kota itu sendiri.
Hilangnya Jatidiri Kota
Tolak ukur keberhasilan pembangunan kota dinilai dari kemampuan pemerintah mengikis ketimpangan sosial seperti menekan jumlah pengangguran, dan pemberantasan kemiskinan. Pembangunan kota berhasil apabila tidak keluar dari jati diri bangsa. Perkembangan kota-kota di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir justru mempunyai kecenderungan menghilangkan ciri “identitas”-nya, sehingga kota-kota tersebut kehilangan karakter spesifiknya yang memunculkan “ketunggalrupaan” bentuk dan arsitektur kota (Budiarjo,1997).
Senada dengan pendapat Budiarjo, Wikantioyoso (2007) juga menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia saat ini telah kehilangan jatidiri atau identitas aslinya dikarenakan semakin menjamurnya design instan sebagai dampak globalisasi, sehingga bentuk arsitektur bangunan atau tata kawasan terasa ada kemiripan antara kota yang satu dan lainnya. Akibatnya masyarakat kehilangan pegangan untuk mengenali lingkungannya (Raksadjaja, 1999).
Mewujudkan kota yang punya karakteristik, humanisme, dan spiritualitas tidak hanya terbatas pada penataan ruang dan bangunan kota, karena kalau hanya itu yang menjadi titik fokus yang utama, maka karakteristik sebuah kota akan hilang, yang ada hanya metropolis, assesoris, pragmatis atau sebuah komplek kuburan yang diisi dengan keheningan dan kebisuan. Dalam perkotaanpun lantas bermunculan aneka ramalan, perkiraan, prediksi, antisipasi, yang sungguh sangat memperhatikan akan deterioration perubahan kota secara drastis tanpa memperhatikan lingkungan sebagai potensi dan faktor kebutuhan masyarakat. Kota-kota akan tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin luas dan sulit dikendalikan. Polis (kota) akan menjadi metropolis (kota raya), kemudian berubah menjadi megapolis (kota megah), kemudian ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan necropolis (kota mayat). Tampaknya kecenderungan semacam ini telah terjadi di kota-kota besar dan kota raya di dunia seperti negara-negara maju di Benua Eropa, Amerika dan Asia. Gedung-gedung jangkung dengan kotak kaca yang serba tunggal rupa, dengan hiasan berbagai logo berbagai macam produk menghiasi kota serta merambah kesegenap pelosok kota (Darwan, 2014).
Kota-kota yang berwajah serupa, monoton, membosankan, tidak memiliki jati diri atau identitas, kota semacam inilah pantas diberi predikat “junk city”. Junk city atau kota sampah menampilkan kepadatan, kesemrawutan, monoton tanpa memperhatikan dan atau mengabaikan ekologi dan keunikan sosial budaya (Darwan, 2014).
Kota tanpa jati diri muncul akibat keinginan untuk mengubah wajah kota menjadi lebih bervariasi dengan memunculkan berbagai bentuk, struktur sisi kota yang beraneka ragam sisi modern tanpa diakomodir sebelumnya. Keinginan ini kemudian dituangkan dalam penataan kota yang secara tidak langsung mengubah image kota yang merupakan potensi sebuah kota yang menjadi daya tarik masyarakat penghuninya. Sebenarnya kota-kota tanpa jati diri telah bermunculan di Indonesia sebagai negara yang ingin mengubah jati diri sebuah negara berkembang untuk alat daya tarik masyarakat global, baik yang ingin berinvestasi maupun berwisata. Faktor inilah kota-kota besar di Indonesia mengubah wajah kotanya agar menjadi daya tarik, sehingga dengan mudahnya menghilangkan berbagai budaya dan kenangan masa lalu agar menjadi pengumpan para pelancong datang ke kota tersebut. Kota-kota tersebut antara lain Jakarta, Bandung, Surabaya dan beberapa kota di Indonesia lainnya (Darwan, 2014).
Menurut para ahli, ada beberapa pilihan sebuah kota dapat menentukan wajah kota sebagai bagian dari alternatif kota masa depan. Hal ini tertuang dalam bukunya Peter Hall yang judulnya Cities of Tomorrow atau dalam bahasa Indonesianya Kota Masa Depan. Di sini sebuah kota dapat memilih, mana yang cocok untuk kotanya. Pertama, technopolis kotanya para rekayasawan dan teknolog yang mendominasi. Kedua, profitopolis kotanya para kalangan pengusaha atau sektor swasta yang mendominasi. Ketiga, marxopolis kotanya para penentu kebijakan atau pengelola perkotaan. Keempat, ecopolis kotanya para kalangan ilmuan dan pakar ahli lingkungan. Kelima, utopis kotanya masyarakat kota dengan kata lain kota yang humanopolis kota yang wajah kotanya ditentukan oleh warganya (Darwan, 2014).
Kota-kota di Indonesia saat ini telah kehilangan jatidiri atau identitas aslinya. Di beberapa kota besar,…bentuk arsitektur bangunan atau tata kawasan terasa ada kemiripan antara kota yang satu dan lainnya (Respati Wikantiyoso, 2002). Menurut guru besar ilmu arsitektur kota itu, kemiripan design antar kota tersebut merupakan akibat pengaruh dari semakin menjamurnya design instan sebagai dampak globalisasi, sehingga memunculkan karakter “ketunggalrupaan” arsitektur kota-kota di Indonesia. Dikatakannya, kebijakan yang berlaku seragam secara nasional juga bisa menghilangkan karakter spesifik atau identitas yang bersifat unik, seperti perubahan penggunaan nama-nama jalan dengan nama pahlawan telah menghilangkan spesifikasi kota. Selain mulai lunturnya karakter spesifik sebagai jatidiri sebuah kota, lanjutnya, penerapan kebijakan perencanaan kota juga mulai mengabaikan sebagian aset potensi fisik dan non fisik kota sebagai identitas kota. Ia mengakui pembangunan kota sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politis suatu masyarakat kota dan pembangunan itu sendiri menjadi sebuah keharusan. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan upaya pembangunan harus dibayar mahal dengan terjadinya penurunan kualitas visual dan lingkungan kota.
Untuk menentukan wajah sebuah kota kita harus menyadari setiap perubahan kota yang kita lakukan, melibatkan semua elemen baik masyarakat, pemerintah kota, para perencana kota maupun elemen lain secara ergonomik adalah tindakan sadar dan bertanggung jawab.
Problematika Pembangunan Kota Yang Akut
Musuh utama yang dihadapi oleh pembangunan kota dan menjadi problem pembangunan kota yang akut adalah keterbelakangan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kebodohan, rendahnya kesehatan yang semuanya bermuara pada kemiskinan. Semua negara pernah atau bahkan sedang berjuang menghadapi sekian banyak problem tersebut, di samping masih banyak lagi problem turunan lagi yang bergelut pada tiap kawasan negara tertentu.
Sejumlah tantangan global mengenai perkotaan yang dihadapi dewasa ini, sesuai dengan kajian Le Grange dan Rochford tentang “Ranking of Science and Technology-Related Global Problems” tahun 1996 (Eko Budihardjo, 2005:168-169) mencakup butir-butir sebagai berikut: (1) pengadaan perumahan masal (rumah untuk semua, termasuk pembuatan perlindungan atau keamanan lingkungan, pelayanan sosial); (2) tata guna lahan yang jelek (erosi, reklamasi lahan, pemekaran dan pertumbuhan kota, lenyapnya habitat untuk satwa, penggundulan hutan, meluasnya tanah gersang/padang pasir, meningkatnya kandungan garam pada tanah dan air); (3) penggunaan dan penyalahgunaan teknologi (ledakan informasi elektronik, penyimpangan penyebaran ilmu pengetahuan, jejaringan komunikasi berskala dunia, penciptaan lapangan kerja, indoktrinasi melalui televisi, pengaruh serbaneka informasi kontroversial lewat satelit); (4) pertumbuhan penduduk (imigrasi, penyempitan ruang kehidupan, perencanaan kota yang kurang antisipatif); (5) pasokan air bersih (distribusi air minum, kontaminasi air tanah, pengolahan limbah cair, banjir dan kekeringan); (6) pencemaran udara (hujan asam, menipisnya lapisan ozone, pemanasan global); dan (7) keterbatasan energi (sumberdaya energi yang menyusut, konservasi energi, bahan bakar fossil, panas matahari).
Karena itu, setiap pembangunan kota diawali dengan studi yang mendalam, intensif, dan komprehensif termasuk perkiraan dampak yang akan terjadi (oleh cendekiawan dan ilmuan), perencanaan menyeluruh terpadu dan integralistis (oleh para professional), pelaksanaan yang jujur dan taat asas (oleh pihak swasta), dan pengawasan yang ketat (oleh pemerintah dan legislatif), yang semuanya bermuara: untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan kemashlahatan masyarakat.
Sejumlah permasalahan pokok dalam manajemen pembangunan, antara lain: (1) adanya inkonsistensi antar kebijakan yang dilakukan berbagai organisasi publik dan antara kebijakan makro dan mikro maupun antara kebijakan dan pelaksanaan; (2) rendahnya tingkat keterlibatan aktor berkepentingan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan; (3) ketidakselarasan antara perencanaan program dan pembiayaan; (4) rendahnya tingkat transparansi proses perumusan kebijakan dan perencanaan program, dan tingkat akuntabilitas pemanfaatan sumberdaya keuangan publik; dan (5) kurang efektifnya penilaian kinerja kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan itu sendiri (Bappenas, 2003).
Permasalahan Internal dan Eksternal Kota
Setiap kegiatan pembangunan kota, pasti berdampak pada berbagai hal. Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktifitas pembangunan akan menghasilkan dampak, baik pada manusia ataupun lingkungan hidup. Dampak terhadap manusia yakni meningkat atau menurunnya kualitas hidup manusia, sedangkan dampak bagi lingkungan yakni meningkat atau menurunnya daya dukung alam yang akan mendukung kelangsungan hidup manusia (Wardhana, 2001).
Identifikasi dampak merupakan langkah yang sangat penting. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengidentifikasi dampak adalah: a) menyusun berbagai dampak yang menonjol yang diperkirakan akan timbul, dan b) menuliskan semua aktivitas pembangunan yang menimbulkan dampak sebagai sumber dampak (Fandeli, 2004).
Perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan suatu kekuatan yang terbentuk akibat kedudukan kota dalam konstelasi regional atau wilayah yang lebih luas, sehingga memiliki kemampuan untuk menarik perkembangan dari daerah sekitarnya. Faktor internal adalah kekuatan suatu kota untuk berkembang dan ditentukan oleh keuntungan letak geografis (fungsi kota) (Branch, 1996).
Ditinjau dari lingkupnya, isu atau permasalahan pembangunan perkotaan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan dalam lingkup eksternal kota dan permasalahan internal kota. Isu eksternal antara lain adalah ketidakseimbangan pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil; kesenjangan pembangunan antara desa dan kota; belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh; dan banyaknya wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. Isu internal kota adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kota yang harus dihadapi oleh kota itu, antara lain: kemiskinan, kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas daerah dalam pengembangan dan pengelolaan perkotaan.
Ditinjau dari sifatnya dalam mempengaruhi perkembangan perkotaan, kebijakan perkotaan dapat dibagi dua, yakni kebijakan implisit dan kebijakan eksplisit. Kebijakan perkotaan secara implisit adalah kebijakan pembangunan yang tidak ditujukan untuk mengintervensi perkembangan perkotaan, namun dampaknya terhadap perkembangan perkotaan sangat besar. Sementara itu, kebijakan perkotaan eksplisit adalah kebijakan pembangunan yang secara spesifik ditujukan untuk melakukan intervensi pada perkembangan kota. Sifat kebijakan perkotaan harus berdasar pada kecenderungan perkembangan perkotaan, bukan tujuan akhir, melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas yaitu melayani tujuan pembangunan sosial-ekonomi. Dalam hal ini, aspek kebijakan yang perlu diperhatikan: (1) kebijakan pembangunan yang mampu mempengaruhi penyebaran penduduk; (2) pengembangan sistem perkotaan yang mampu meningkat mobilitas penduduk; (3) pengembangan hierarki perkotaan di mana besar dan kemampuan kota perlu diperhitungkan; (4) pengembangan efisiensi kota dengan ukuran minimum penduduk kota merupakan tolok ukur pusat pertumbuhan wilayah; (5) pengembangan sistem perencanaan yang memperhatikan segi koordinasi kegiatan; (6) pengembangan konsep metropolitanisasi di mana pengaruh kota sudah menjangkau di luar batas wilayah administrasi kota (Arguby dan Ahmad Usman, 2019).
Faktor Penghambat
Pelaksanaan pembangunan banyak dipengaruhi oleh kondisi fisik dan nonfisik dari suatu masyarakat, sehingga akselerasi (percepatan) pembangunan di setiap daerah tidak sama. Menurut Tjokroamidjojo (Nawawi, 2009), faktor yang mempengaruhi pembangunan dan mempunyai relevansi dengan kondisi masyarakat antara lain: (1) masyarakat yang masih tradisional; (2) masyarakat yang bersifat peralihan; dan (3) masyarakat maju (modern).
Dalam pembangunan kota/daerah terdapat beberapa faktor sebagai penghambat maupun pendorong. Faktor-faktor tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk sikap mental dan nilai-nilai budaya.
Faktor penghambat dalam bentuk sikap, antara lain: sikap tradisionalistis; vested interest; prasangka buruk terhadap sesuatu yang baru; kekhawatiran terjadi kegagalan pada integrasi budaya; hambatan yang bersifat ideologis; komunikasi yang belum lancar; dan tingkat pendidikan rendah.
Selain itu, terdapat pula sikap mental yang tidak cocok untuk pembangunan, seperti: sikap pasrah menerima; sikap kurang disiplin; sikap kurang suka kerja keras; sikap kurang jujur; sikap hidup boros; sikap ketergantungan terhadap orang lain; sikap prasangka buruk terhadap pembaruan; dan sikap mengisolasi terhadap pembaruan.
Pertama, sikap pasrah menerima, yaitu sikap pasif, artinya tidak ada reaksi positif terhadap keadaan dan perubahan yang terjadi. Kedua, sikap kurang disiplin, yaitu suatu sikap mental seenaknya dalam berbagai hal, terutama tidak mentaati peraturan-peraturan dan hukum yang berlaku. Ketiga, sikap kurang suka kerja keras, yaitu suatu sikap mental ogah-ogahan, santai, dan suka mengulur-ulur waktu dalam pekerjaan. Keempat, sikap kurang jujur, yaitu suatu sikap mental yang dalam berbagai pekerjaan dan kegiatan selalu mencari untung sendiri dengan jalan yang tidak dibenarkan, misalnya: manipulasi, korupsi, dan sebagainya. Kelima, sikap hidup boros, yaitu sikap mental yang melakukan segala sesuatu dengan berlebih-lebihan, sehingga tidak tepat guna dan tidak efisien. Keenam, sikap tertutup terhadap pembaharuan, yaitu sikap mental yang tidak mau menerima perubahan-perubahan. Dan ketujuh, sikap berprasangka terhadap pembaharuan, yaitu suatu sikap mental yang memandang bahwa perubahan itu buruk akibatnya, dan berwawasan sempit, sehingga secara tidak langsung akan membawa kepicikan bagi yang bersikap seperti itu. Padahal, justru dalam usaha pembangunan sangat dibutuhkan manusia sebagai pendukung pembangunan yang memiliki wawasan berpikir sangat luar biasa.
Faktor penghambat lain, misal: sumber daya manusia; sumber daya modal (investasi); teknologi yang masih rendah; perkembangan penduduk; dan birokrasi buruk.
Pemetaan Isu
Salah satu prasyarat bahwa proses pembangunan akan mencapai sasarannya ialah dengan mengetahui apakah isu-isu dan permasalahan utama di suatu kota dapat dikenali dan dirumuskan dengan baik.
Secara konseptual, proses pembangunan memiliki titik awal dan titik akhir. Proses tersebut memiliki serangkaian kegiatan yang dimulai dari awal dan diakhiri pada suatu tujuan tertentu. Serangkaian kegiatan tersebut tertata dalam urutan-urutan tertentu, yang menuju pada pencapaian akhir (tujuan). Dalam kerangka ini, pemetaan isu dan permasalahan utama pembangunan kota merupakan langkah awal yang perlu untuk dilakukan (Rukuh Setiadi dan Samsul Ma’arif, 2010).
Pandangan-pandangan yang mengungkapkan bahwa perencanaan sebagai suatu panduan bagi aksi-aksi di masa yang akan datang dapat terwujud bila ada pemahaman atas isu dan permasalahan. Pemahaman atas isu dan permasalahan suatu kota merupakan suatu modal utama yang sangat dibutuhkan dalam upaya menyusun suatu arahan perencanaan di masa-masa yang akan datang. Isu dan permasalahan utama dalam konteks ini adalah sebagai suatu “knowledge” yang perlu dijembatani oleh kegiatan perencanaan, sehingga diperoleh suatu aksi di masa yang akan datang.
Isu dan permasalahan sering dianggap sama, walaupun keduanya sebenarnya berbeda. Permasalahan adalah perbedaan (gap) antara kondisi riil dengan kondisi ideal dan/atau perbedaan antara kondisi riil dengan ekspektasinya. Sementara, isu adalah permasalahan-permasalahan yang patut dipertimbangkan. Isu atau permasalahan utama dalam pembangunan pada dasarnya dapat diklasifikasikan berdasarkan kerangka waktunya. Berdasarkan kerangka waktunya, biasanya dikenal dua jenis isu, yaitu isu umum dan isu spesifik. Isu umum adalah isu yang menyangkut masyarakat, kota, atau sistem ekonomi kota secara keseluruhan. Adapun isu spesifik adalah isu-isu yang sama, hanya cakupannya terkait pada sebagian lokasi dan kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan kerangka waktunya, isu dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu: isu saat ini dan isu yang akan datang. Isu saat ini adalah isu yang telah dan sedang eksis, sedangkan isu yang akan datang adalah isu yang perlu untuk diantisipasi karena dikhawatirkan akan terjadi di masa yang akan datang atau dalam waktu dekat (Rukuh Setiadi dan Samsul Ma’arif, 2010).
Jika penanganan dalam pembangunan perkotaan sebagai basisnya adalah masalah, maka ada kecenderungan akan terjadi pembangunan yang cenderung sektoral dan ketinggalan momentum. Pemahaman atas isu utama pembangunan perlu untuk diperkenalkan sebagai upaya untuk menyamakan langkah gerak penyelesaian masalah pembangunan kota dengan lebih terpadu dan berorientasi ke depan. Oleh karena itu, pengambil kebijakan perlu melakukan pengambilan keputusan dan atau tindakan atas dasar isu atau permasalahan utama daripada unit-unit masalah yang berdiri secara parsial.
Pemetaan terhadap berbagai isu-isu strategis serta solusi yang dihasilkan agar menjadi salah satu tolak ukur dalam merencanakan program dan kegiatan, sehingga kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah kota dapat mendukung pemerintah dalam menanggulangi permasalahan daerah.
Proses penentuan prioritas isu dan permasalahan utama menggunakan metode pembobotan (scoring dan rating) sederhana. Penentuan prioritas isu dan permasalahan utama tersebut menggunakan tiga kriteria utama: (1) Besaran (magnitude). Kriteria ini untuk melihat pengaruh atau dampak dari setiap isu. Dalam kajian ini, pengaruh atau dampak dari suatu masalah dapat diketahui melalui: (a) Luasan/cakupan dampak suatu masalah; dan (b) intensitas seringnya masalah tersebut muncul dari tahun ke tahun. (2) Derajat urgensi (degree of urgency). Kriteria ini untuk melihat seberapa mendesaknya suatu masalah untuk segera ditangani. Semakin mendesak suatu masalah untuk diselesaikan, maka isu tersebut semakin strategis. (3) Peluang dilakukan tindakan (do-able). Kriteria ini untuk melihat peluang dilakukannya tindakan untuk merespon isu strategis. Ketiga kriteria ini dianggap atau diasumsikan sama pentingnya antara satu dibandingkan dengan lainnya. Oleh karena itu, ketiga kriteria di atas akan diberi nilai skor atau bobot yang sama (Rukuh Setiadi dan Samsul Ma’arif, 2010).
Paradoks Pembangunan
Bentuk awal dari kata paradoks muncul dalam bahasa Latin paradoxum dan berhubungan dengan bahasa Yunani paradoxon. Kata ini terdiri dari preposisi para yang berarti “dengan cara”, atau “menurut” digabungkan dengan nama benda doxa, yang berarti “apa yang diterima”.
Soedjatmoko (1972) telah mewanti-wanti bangsa kita mengenai paradoks pembangunan. Pembangunan seumpama dua sisi koin. Di satu sisi, ia mutlak diperlukan guna menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, namun di sisi lain hasil dari pembangunan tersebut justru akan merusak pembangunan yang telah ada, misalnya melalui persoalan lingkungan hidup dan dehumanisasi.
Meminjam pemikiran Heidegger dalam Building, Dwelling, Thinking (Gorivana Ageza, 2014), bangunan hendaklah menjadi seperti jembatan. Dalam metafora pemikiran George Simmel, jembatanlah yang akan menghubungkan dua tebing dengan jurang di antaranya. Keberadaan jembatan tidak menghalangi aliran sungai yang berada di bawahnya, ia justru membuat kita menyadari keberadaan kedua tepian sungai, rerumputan yang berada di sekitar arus sungai, demikian pula dengan makhluk hidup yang berada di sana. Keberadaan jembatan tidaklah menjadi “ancaman” bagi keberlangsungan kehidupan (bahkan ketidakhidupan), ia justru memelihara harmoni kehidupan.
Dalam tulisannya yang berjudul “Revolusi Mental” di Harian Kompas (23/5/2014), Joko Widodo—Presiden Ke-7 Indonesia menyatakan bangsa ini menghadapi suatu paradox: di satu sisi angka pertumbuhan ekonomi kita cukup membanggakan yaitu tercatat sebagai nomor dua tertinggi di dunia. Dalam aspek politik kita telah menciptakan sistem demokrasi yang memberi rakyat peluang memilih pemimpin daerah sampai presiden secara langsung. Kita juga punya Mahkamah Konstitusi, KPK, dan sebagainya, tetapi mengapa rakyat Indonesia semakin galau? Paradoks ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup hanya menghasilkan indikator ekonomi makro yang “indah”, sebab rakyat secara nyata membutuhkan peningkatan kualitas kehidupan sosial-budaya yang lebih menyeluruh, sistemik dan bersifat inklusif (menyejahterakan semua warga, adil dan merata).
Kaitan dengan pembangunan ekonomi, A Prasetyantoko (2011) mengemukakan empat paradoks perekonomian Indonesia. Pertama, paradoks pertumbuhan. Kedua, paradoks daya saing. Ketiga, paradoks sektor usaha. Dan keempat, paradoks likuiditas.
Selain paradoks di bidang ekonomi, terjadi juga paradoks pertanian Indonesia. Dalam buku Inequality Reexamined (1992), pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, menulis pentingnya akses dan aspek kebebasan ketimbang ketersediaan. Meskipun pangan berlimpah, tidak otomatis bisa diakses warga, terutama warga miskin. Dari sinilah kita melihat paradoks. Pertama, paradoks kemiskinan dan rawan pangan. Kedua, paradoks pertumbuhan. Ketiga, paradoks ekspor-impor.
Tantangan ke Depan
Di samping sederet permasalahan dan sejumlah faktor penghambat dalam pembangunan kota sebagaimana dijelaskan di atas, maka ada sejumlah faktor sebagai pendorong pembangunan kota.
Menurut Mc. Cleland (2009), sikap mental pendorong pembangunan meliputi: a) berorientasi ke masa depan; b) mampu berinovasi; c) menghargai karya; d) percaya akan kemampuan sendiri; e) berdisiplin tinggi; dan f) bertanggung jawab.
Koentjaraningrat (2008) menyatakan bahwa faktor pendorong pembangunan adalah adanya nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: a) nilai budaya yang berorientasi ke masa depan; b) nilai budaya yang berkhasiat untuk mengeksploitasi lingkungan dan kekuatan-kekuatan alam; c) nilai bangsa tetap mau berusaha/berikhtiar; dan d) nilai budaya gotong royong.
Selain faktor-faktor di atas, dalam pembangunan terdapat beberapa faktor sebagai pendorong yang diwujudkan dalam bentuk sikap mental dan nilai-nilai budaya. Pertama, nilai-nilai budaya, di antaranya: berorientasi pada kemampuan sendiri; sifat tahan penderitaan; berorientasi pada usaha; sikap toleransi; dan gotong royong. Kedua, sikap mental, di antaranya: penilaian tinggi terhadap unsur-unsur yang membawa kebaikan; penilaian tinggi terhadap hasil karya orang lain; ingin menguasai alam dengan kaidah yang benar; berorientasi masa depan; dan penilaian tinggi terhadap kerjasama.
Tantangan pembangunan perkotaan ke depan adalah: (1) kota-kota, khususnya kota besar dan metropolitan, perlu meningkatkan daya saing di tingkat internasional, karena persaingan global saat ini menuntut kota agar mampu berperan sebagai tempat beraktivitas yang kompetitif dan bertaraf internasional, di mana sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaannya; (2) kota-kota, khususnya yang terkena dampak langsung perubahan iklim, perlu meningkatkan kemampuan dan kapasitas dalam upaya antisipasi dampak perubahan iklim, yang perlu diarusutamakan dalam seluruh kegiatan pembangunan dan pengelolaan perkotaan; dan (3) kota-kota perlu meningkatkan kemampuan dan kapasitas untuk penyelenggaraan pengelolaan perkotaan pada era desentralisasi dan demokratisasi tata pemerintahan melalui penguatan kerjasama antarkota maupun antara kota dengan daerah di sekitarnya.
Yang jelas dan pasti, membangun kota, bukan “jalur tol, yang bebas hambatan”.
Semoga !!!