Oleh : Ahmad Usman dan Sujani
Dosen Universitas Mbojo Bima
INIPASTI.COM, OPINI— “Good teachers are costly, but bad teachers cost more” (Guru yang baik itu mahal, tapi guru yang buruk lebih mahal) (Bob Talbert). “… jika engkau hendak berguru cucuku, Pilihlah manusia yang tahu ilmu kasunyatan, yang baik tingkah lakunya, serta yang tahu akan semua aturan dan hukum, yang taat dalam beribadah dan pengendalian diri, lebih baik lagi jika itu pertapa, yang sudah bebas dari nafsu duniawi, tidak mengharapkan pemberian orang lain, itulah orang yang patut kau jadikan guru, serta patut kau mengerti/hargai” (Dhandhagulla dalam Usman, 2023).
Menarik kata-kata Bob Talbert di atas, penulis tertarik kepada klausa pertama “guru itu mahal” akan tetapi ketika melanjutkan ke klausa kedua ternyata tidak kalah menariknya “guru yang buruk lebih mahal” (Anang, 2013).
Klausa pertama adalah sebuah apresiasi, bahwa guru yang baik memang harus dihargai baik dengan memberikan fasilitas mengajar maupun gaji. Penulis tidak berpikir negatif untuk tidak memaknai itu sebagai sindiran bahwa guru memiliki gaji yang terlalu tinggi. Pasalnya gaji guru di Indonesia ini ada yang mahal ada yang murah, bahkan banting harga. Guru yang digaji mahal, atau lebih saya katakan mendapat gaji yang proporsional adalah guru yang statusnya pegawai negeri. Sedangkan, guru yang dihargai murah adalah guru honorer yang digaji berdasarkan jam mengajar. Misal seorang guru dalam seminggu mengajar 15 jam pelajaran dalam seminggu dan harus berangkat 6 kali perminggu, maka ia akan digaji 15 x honor perjam + 24 x biaya transportasi. Jadi misal dalam satu jam dishonor Rp50.000,00 dan uang transportasi sekali datang adalah Rp10.000,00 maka dalam sebulan guru menerima honor 50.000×15 + 24×10.000 = 840.000. Itu kalau perjamnya dishonor Rp50.000,00 di Yogyakarta ada yang hanya mampu menggaji gurunya Rp15.000,00/jam dan tanpa uang transportasi. Mahal? (Anang, 2013).
Klausa yang kedua, “Guru yang buruk lebih mahal”. Klausa yang menggelitik ini penulis baca berkali-kali untuk mendapati maknanya. Kemudian didapatlah dalam pemahaman penulis bahwa guru yang buruk kinerjanya apabila mendapat penghargaan materi yang sama dengan guru yang baik, maka dapat disimpulkan bahwa sekolah mengeluarkan uang untuk membiaya guru yang kurang bisa menjalankan proses belajar mengajar dengan baik, sehingga uang yang dikeluarkan walaupun sama dengan mengeluarkan uang untuk menggaji guru yang baik namun hasil pendidikan tidak baik. Rugi? (Anang, 2013).
Lalu, bagaimana dengan pendapat Dhandhagulla (Usman, 2023) di atas? Gambaran Dhandhagulla di atas adalah potret “guru sejati”. Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah.
Kemuliaan seorang “guru sejati” sebagaimana digambarkan di atas, juga terlihat pada perumpamaan tentang guru dan Tuhan sebagaimana diulas Swami Rama (Usman, 2023) dalam bukunya “Living With Himalayan Masters”. Dia menulis: “jika guruku dan Tuhan datang bersama-sama, aku akan menghadap guruku dulu dan berkata, “Trima kasih banyak. Engkau telah memperkenalkan aku pada Tuhan”. Dan tidak mungkin akan menghadap kepada Tuhan dulu dan berkata, “Trima kasih Tuhan. Engkau telah memberikan aku seorang guru.”
Dalam praktek pendidikan sehari-hari, masih banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan atau “dosa-dosa” (penulis !) dalam menunaikan tugas dan fungsinya. Kesalahan-kesalahan tersebut seringkali tidak disadari oleh para guru, bahkan masih banyak di antaranya yang menganggap hal biasa. Padahal sekecil apapun kesalahan yang dilakukan guru, khususnya dalam pembelajaran akan berdampak negatif terhadap perkembangan peserta didik. Sebagai manusia biasa, tentu saja guru tidak akan terlepas dari kesalahan baik dalam melaksanakan tugas pokok mengajar maupun tugas-tugas lainnya. Namun bukan berarti kesalahan guru harus dibiarkan dan tidak dicarikan solusi alternatifnya.
Guru harus mampu memahami kondisi-kondisi yang memungkinkan dirinya berbuat salah, dan yang paling penting adalah mengendalikan diri serta menghindari dari kesalahan-kesalahan atau “dosa-dosa.”
Diakui atau tidak, sebagaimana profesi lainnya, guru juga pasti memiliki keberhasilan dan kelemahan. Kekurangan guru di antaranya, misal: akademik yang kurang memadai; kurang profesional; kurang memahami ilmu pendidikan (paedagogig); minimnya semangat belajar, berinovasi dan berkreasi; dan memandang guru sebagai profesi belaka. Sebuah surat kabar lokal mengabarkan bahwa sebanyak sebelas ribuan guru, hanya 0,05% saja yang telah melakukan pengembangan profesi dengan membuat karya ilmiah atau penelitian (Radar Pekalongan, 29/5/2009). Dilaporkan harian ini pula, minat guru minim karena para guru masih terjebak dengan rutinitas mengajar yang dilakukan setiap hari di kelas. Dan pola pengajaran guru masih konvensional tanpa mencoba kreatifitas dengan mengembangkan penelitian yang mampu meningkatkan mutu pengajarannya di kelas. Tampaknya, budaya bertutur, berceramah dan bercerita seolah mendominasi dan berurat akar di kalangan guru sehingga sulit untuk membiasakan diri dengan menulis atau meneliti secara sistematis, tak sekadar mencatat bahan ajar di kelas.
Pada panorama lain, permasalahan berkenaan dengan mentalitas. Berbagai kekurangan dan kelemahan mentalitas sejumlah guru antara lain suka melakukan terobosan dengan mengabaikan mutu, kurang rasa percaya diri, tidak berdisiplin murni, tidak berorientasi ke masa depan dan suka mengabaikan tanggung jawab tanpa rasa malu. Ada beberapa ciri guru yang dapat menghambat cita-cita pendidikan nasional yaitu: hipokrit, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya yang salah. Hipokrit ialah munafik atau orang yang suka berpura-pura (Mustading, 2012).
Persoalan guru senantiasa aktual dan berkembang seiring perubahan-perubahan yang mengintari, perubahan sains, teknologi, dan peradaban masyarakatnya. Secara internal berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, jaminan rasa aman, dan semacamnya. Secara eksternal; krisis etika moral anak bangsa dan tantangan masyarakat global yang ditandai tingginya kompetensi, transparansi, efisiensi, kualitas tinggi dan profesionalisasi (Sidi, 2001).
Guru profesional adalah guru yang mampu meminimalisir kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan memahami berbagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh guru, diharapkan guru dapat berusaha menghindari atau paling tidak meminimalisir kesalahan-kesalahan yang bisa muncul selama kegiatan belajar-mengajar.
Be good a teacher or never. Artinya, lebih baik tidak jadi guru daripada jadi guru tidak baik. “Tidak semua guru penting, bahkan banyak guru yang menyesatkan perkembangan dan masa depan anak bangsa” (Mulyasa, 2011).
Dalam buku Stop Menjadi Guru karya Sapa’at (2012) dipaparkan potret pendidikan Indonesia, ada yang membanggakan, memalukan, atau malah memilukan. Banyak kisah heroik dari para guru yang ditugaskan di pelosok nusantara dan penuh dedikasi tinggi mengemban misi: mencerdaskan generasi masa depan bangsa. Namun, tidak sedikit pula guru yang hanya menjadikan guru sebagai mata pencaharian atau malah menjadi ‘hamba’ sertifikasi. Secara tidak sadar, itu sama saja mencoreng corps pendidik.
Dosa-dosa Guru
Dosa guru adalah kesalahan-kesalahan seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Di antara dosa itu, hadir dalam corak guru yang : (3) Ngamuk’isme yang berarti sering marah-marah; (2) Itung’isme, yang berarti perhitungan sekali; (4) Mangkir’isme yang berarti sering pergi kalau sedang dibutuhkan; dan (5) Cuek’isme, yang berarti tidak peduli dengan anak (Widiasworo, 2020).
Pada kenyataannya di sekolah-sekolah banyak kita temui guru yang menempatkan diri menjadi manusia super (superman), guru memberikan materi dengan metode ceramah dari awal masuk sampai kepada akhir jam pelajaran, guru seumpama cerek yang berisi air (materi) dan menuangkannya ke dalam gelas kosong (siswa). Guru mengabaikan aktivitas jasmaniah dan aktivitas mental siswa, guru “cuek” terhadap intelektual-emosional, asimilasi dan akomodasi kognitif siswa, guru “juju hetang“ terhadap interaksi yang dapat dilakukan ketika proses belajar mengajar berlangsung, guru hanya menerapkan interaksi satu arah (antara guru dan siswa semata) tanpa menerapkan interaksi multi arah (antara guru dengan siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lainnya) (Mumus, 2010).
Sanjaya (2005) menyebutkan ada 4 kekeliruan dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru yaitu: (1) ketika mengajar, guru tidak berusaha mencari informasi, apakah materi yang diajarkannya sudah dipahami oleh siswa atau belum; (2) dalam proses belajar mengajar guru tidak berusaha mengajak berpikir kepada siswa. Komunikasi bisa terjadi satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Guru menganggap bahwa bagi siswa menguasai materi pelajaran lebih penting dibandingkan dengan mengembangkan kemampuan berpikir; (3) guru tidak berusaha mencari umpan balik mengapa siswa tidak mau mendengarkan penjelasannya; dan (4) guru menganggap bahwa ia adalah orang yang paling mampu dan menguasai pelajaran dibandingkan dengan siswa. Siswa dianggap sebagai “tong kosong” yang harus diisi dengan sesuatu yang dianggapnya sangat penting.
Seorang guru dapat berbuat kebaikan dan dapat melakukan dosa-dosa. Dalam konteks pendidikan Indonesia, pendidikan “gaya bank” sebagaimana dikemukakan Paulo Freire menjelma dalam bentuk 7 (tujuh) dosa besar yang sering dilakukan oleh para guru. Tujuh dosa guru itu adalah: (1) mengambil jalan pintas dalam mengajar (tanpa perangkat mengajar; RPP-Silabus-Prota-Promes-Jurnal Mengajar-dan lain-lain); (2) menunggu peserta didik berperilaku negatif baru ditegur; (3) menggunakan destructive discipline saat membina siswa; (4) mengabaikan keunikan peserta didik saat mengajar (siswa kurang mampu dan siswa mampu diperlakukan sama saja dalam KBM); (5) malas belajar dan meningkatkan keterampilan karena merasa paling pandai dan tahu; (6) tidak adil (diskriminatif); dan (7) memaksa hak peserta didik (Mulyasa, 2011).
Pendidikan “Gaya Bank” ala Paulo Freire
Pendidikan “gaya bank” ala Paulo Freire, menurut Suyanto (2001) akan menghasilkan insan-insan yang jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. Wujud pendidikan “gaya bank”, di mana guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh oleh para murid.
Sejumlah dosa yang sering dilakukan oleh seorang guru karena tidak menjalankan kewajibannya yang diamanahkan UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, antara lain: tidak memberikan proses pembelajaran yang bermutu, tidak meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi, tidak objektif, diskriminatif terhadap peserta didik dalam pembelajaran, mengabaikan perundangan-undangan, hukum, kode etik guru, nilai agama dan etika, dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa, tidak merencanakan proses pembelajaran terlebih dahulu sebelum masuk kelas, tidak mengevaluasi hasil pekerjaan siswa baik itu di sekolah ataupun pekerjaan rumah.
Bentuk dosa guru yang lain, yakni: (1) Guru mengajar, murid diajar. (2) Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. (3) Guru berpikir, murid dipikirkan. (4) Guru bercerita, murid mendengarkan. (5) Guru menentukan peraturan, murid diatur. (6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui. (7) Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya. (8) Guru memilih bahan dan pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. (9) Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. (10) Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka (Sujani, 2020).
Adapun kesalahan-kesalahan guru yang lain adalah: (1) guru datang tanpa persiapan; (2) prinsip guru: datang, mengajar, tiap bulan terima gaji (guru pasif); (3) siswa dianggap sebagai “botol kosong yang perlu diisi” (bodoh); (4) jabatan guru untuk mencari kesejahteraan ekonomi (jadi guru karena tidak ada pekerjaan lain); (5) guru memasang muka garang, yang sok tahu segalanya; (6) jadi guru less memberi jawaban langsung (membodohkan murid); (7) guru berkata tidak sopan, tidak dapat ditiru dalam perbuatan; (8) guru yang tidak mau maju, tidak terbuka menerima perkembangan; (9) guru tidak disiplin; dan (10) guru memperlakukan siswanya tidak senonoh (tidak tahu Kode Etik Guru kali !) (Edutamanews, 2011).
Guru mempunyai banyak dosa terhadap siswa dan masyarakat. Dosa-dosa guru itu menurut Mr. Nick P. (Usman, 2022) sebagai berikut: (1) Tidak tepat waktu tiba di sekolah. (2) Tidak pernah tepat waktu masuk mengajar ke sekolah. (3) Suka membocorkan soal ujian untuk siswanya. (4) Suka pesta pora berlebihan. (5) Suka minum mabuk. (6) Suka merokok berlebihan di mana saja. (7) Suka kentut di depan siswanya sendiri. (8) Suka menghasut atasan, siswa dan orangtua tertentu. (9) Guru cuma menunggu gaji pada awal bulan. (10) Mengajar hanya demi uang-uang dan uang. (11) Guru mengencani muridnya sendiri dengan alasan privat les. (12) Guru berakting lemah lembut berlebihan untuk menipu. (13) Guru yang berpura-pura tahu semua, tapi ternyata tidak mampu. (14) Guru pemalas. (15) Guru pembual. (16) Guru penipu. (17) Guru pemeras. (18) Guru sok tahu. (19) Guru serakah. (20) Guru tamak. (21) Guru lupa diri. (22) Guru yang memakai pakaian berlebihan. (23) Guru yang tidak tahu menggunakan otaknya. (24) Guru yang suka arogan terhadap siapa saja. (25) Guru yang hanya mementingkan jabatan dan pangkat.
Rahman (2011) mengungkap kesalahan-kesalahan fatal yang paling sering dilakukan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Terungkap 25 ragam kesalahan yang merupakan tingkah polah para guru yang tidak patut ditiru murid. Ini menjadi semacam otokritik yang membangun dan semoga kita yang pernah melakukan kesalahan tersebut dapat segera memperbaikinya. Keduapuluhlima kesalahan tersebut adalah: (1) duduk di atas meja ketika mengajar, (2) mengajar sambil merokok, (3) mengajar sembari makan, (4) mengajar seraya bermain handphone, (5) tidur saat mengajar, (6) menganggap diri paling pandai, (7) mengajar secara monoton, (8) tidak disiplin, (9) sering bolos, (10) komunikasi tidak efektif, (11) berpakaian tidak rapi, (12) tidak melakukan evaluasi, (13) membiarkan murid saling menyontek, (14) membocorkan rahasia ujian, (15) mengubah perolehan nilai murid, (16) membuat soal ujian yang tidak diajarkan, (17) mengajarkan permusuhan dan kebencian, (18) mengajarkan porno, (19) melakukan pelecehan seksual, (20) tidak peduli dengan presensi murid, (21) diskriminatif, (22) tidak memperhatikan perbedaan individual, (23) tidak bisa mengoperasikan media pembelajaran, (24) mengajar di luar bidang, dan (25) tidak mengikuti perkembangan zaman.
Selain kesalahan-kesalahan di atas, masih banyak kesalahan lain yang dilakukan guru. Di antaranya: (1) merasa bukan pilihan profesi; (2) tidak bersyukur; (3) merasa minder; (4) malas membaca dan tidak mau belajar; (5) telat mengajar, tidak pandai mengelola waktu; (6) tidak kreatif; (7) tidak tahu teori belajar; (8) tidak siap mengajar; (9) menganggap enteng materi; (10) merasa paling pintar dan sombong; (11) tidak suka humor; (12) bukan pendengar yang baik; (13) tidak terampil mengelola kelas; (14) tidak bisa mengevaluasi; (15) mencap siswa bodoh dan pintar; (16) tidak peka lingkungan kerja; (17) tidak punya program perencanaan mengajar; (18) tidak akur dengan rekan kerja; (19) menyepelekan atasan; (20) asal gugur kewajiban; (21) gagap teknologi; (22) menomorduakan tugas pokok; (23) tidak tertib administrasi; (24) anti perubahan bahkan apatis; (25) kaku dalam pembelajaran; dan (26) tidak patuh pada aturan (Usman, 2022).
Bahkan Widiasworo (2020), dalam bukunya “101 Kesalahan Guru dalam Pembelajaran” telah mengidentifikasi dengan apik “101” kesalahan guru dalam pembelajaran. Di antara “101” kesalahan guru, yakni : tidak memiliki pengetahuan tentang penggunaan berbagai media pembelajaran, tidak memiliki keimanan yang baik, tidak memahami gaya belajar peserta didik, sebatas mengajar tanpa mendidik, humor yang melampaui batas, tidak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat, dan lain sebagainya.
Bad Teacher
Masih ingat dengan film Bad Teacher? Bad teacher adalah salah satu film dengan latar belakang sekolah yang termasuk cukup mengktirik profesi guru pada umumnya. Semua tahu dan sepakat bahwa guru dianggap orang yang paling berwibawa, dan tidak pernah salah, tetapi kadang kita tidak tahu bagaimana sifat dan karakter guru itu sendiri.
Bad teacher adalah salah satu film komedi dewasa yang menceritakan sisi lain kehidupan sekolah, guru, dan murid-muridnya. Adalah Elizabeth Hasley (Cameron Diaz- tau kan yang main film Charlie Angels), sosok guru yang kejam, suka mengganja, minum-minuman keras bahkan selama mengajar ia hanya menyetelkan film kepada muridnya sedangkan ia hanya tertidur di meja guru. Intinya bukan merupakan contoh yang baik bagi anak didiknya. Saat Elizabeth dicampakkan oleh tunangannya, ia mulai mencari penggantinya, seorang pria kaya dan tampan bernama Scott Delacorte (Justin Timberlake). Dan untuk itu Elizabeth harus bersaing dengan rekan sesama guru, Amy (Lucy Punch). Di saat bersamaan, Elizabeth juga mempunyai fans yaitu Russell Gettis (Jason Segel), guru olahraga di sekolah tempatnya bekerja yang begitu mencintainya. Peristiwa-peristiwa yang dialami Elizabeth membawanya pada pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya termasuk bagaimana curangnya Hasley mengakali agar muridnya mendapat nilai tertinggi di ujian negara dengan cara mencuri soal dan mendapatkan bonus uang untuk memperbesar payudaranya (Rilo Pambudi, 2020).
Bagaimanapun tipe guru seperti ini sepertinya bisa menjadi kritikan bagi semua kaum guru, karena begitu banyak guru yang kini menjadi instan tanpa harus kerja keras, seperti: memalsukan ijasah, sekolah S2 di kampus ruko dengan membayar uang agar cepat lulus, ikut sertifikasi agar menambah penghasilan padahal kinerja menurun 90 derajat (Rilo Pambudi, 2020).
Menurut PJ Palmer, The Courage to Teacher. Exploring the Inner Landscape of a Teacher’s Life (1998), ada empat proses fragmentasi, disorientasi, dan distorsi dalam dunia pendidikan dan kehidupan guru. Pertama, guru memisahkan kepala dari hatinya. Akibatnya, akal budi tidak tahu bagaimana merasakan, dan hati tidak tahu bagaimana bernalar. Kedua, guru memisahkan fakta dari perasaan. Akibatnya hanya fakta-fakta yang mati, kaku, beku, dan bisu, yang ia paparkan di hadapan siswanya. Ketiga, guru memisahkan antara teori dan praksis. Akibatnya, yang diajarkan di sekolah hanyalah teori yang tidak ada hubungannya dengan praksis kehidupan. Keempat, guru memisahkan antara pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning). Akibatnya, guru yang berbicara, murid yang hanya mendengarkan.
Benar, tidak semua guru mempunyai idealisme sebagai pembangun peradaban bangsa. Tidak sedikit guru yang semestinya digugu dan ditiru, justru “diguyu lan ditinggal turu“ (ditertawakan dan ditinggal tidur oleh siswanya).
Selain “dosa-dosa” di atas, beberapa kesalahan atau “dosa” guru dalam mendidik yang kerap terjadi di sekolah: monoton dalam penyampaian materinya; keras dan memaksa dalam mendidik; ortodok dan kaku; dan sembrono ucapan dan tingkah laku.
Virus dan Penyakit Rentan yang Diderita Guru
Selain dosa, anomali, dan kedholiman guru, terdapat pula sejumlah virus dan penyakit guru. Virus secara umum adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Menurut para ahli biologi virus adalah peralihan antara makhluk hidup dan benda mati. Virus dikatakan peralihan karena virus mempunyai ciri-ciri seperti makhluk hidup yaitu dengan mempunyai DNA dan mampu berkembang biak pada sel hidup serta mempunyai ciri-ciri benda mati yaitu tidak mempunyai protoplasma dan mampu dikristalkan.
Virus pada guru jelas berbeda dengan virus sebagaimana diutarakan di atas. Di antara virus guru dimaksud yakni: (a) virus etos kerja buruk; (b) virus kurang percaya duiri (pd); (c) virus erosi idealism; (d) virus malas; (e) virus rutinitas; (f) virus enggan berubah; (g) virus rendah komitmen; dan (h) virus kepentingan pribadi (Sutrisno dalam Usman, 2022).
Penyakit-penyakit rentan yang diderita guru sebagaimana sub judul di atas, bukan penyakit yang sebenarnya, akan tetapi ”penyakit” dalam pengertian ”akronim” sindiran. Misalnya, ”Mual” yang merupakan akronomi dari ”mutu amat lemah”; ”Tipes” = Tidak punya selera; Kudis = Kurang disipilin; Asma = Asal masuk kelas, dan lain-lain.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia, tidak bisa lepas dari rendahnya kualitas guru. Dalam pandangan psikologi belajar, keberhasilan belajar itu lebih banyak ditentukan oleh guru atau tenaga pengajarnya. Hal ini disebabkan tenaga pengajar selain sebagai orang yang berperan dalam proses transformasi pengetahuan dan keterampilan, ia juga memandu segenap proses pembelajaran.
Apa saja “penyakit” yang diderita guru kita? Berikut ini akan dikupas penyakit-penyakit yang rentan sekali diderita guru sehingga hasil yang dicapai dalam suatu pembelajaran kurang optimal.
Bagi guru yang merasa menderita penyakit berikut, mari segera periksakan ke ‘dokter’ sebelum menular kepada guru yang lain. Mungkin bisa dijadikan bahan introspeksi para guru dan para calon guru. Nini Subini (2013), anggota Komunitas Tinta Emas Yogyakarta, Dedi Suherman (2011), dan beberapa sumber lain, penulis merangkum penyakit guru dimaksud sebagai berikut.
1. Asam Urat (Asal Sampaikan Materi Urutan Kurang Akurat)
Dalam dunia pembelajaran dan pendidikan, guru tidak hanya mengajar seenaknya sendiri. Asal masuk tanpa persiapan khusus. Sebagai guru profesional seharusnya merencanakan apa yang akan diajarkan seperti membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), membuat program yang akan dilakukan selama satu semester atau dalam waktu satu tahun. Dalam pembuatan RPP, program semester, program tahunan juga tidak bisa asal, semua ada sistematika yang sudah diatur secara lengkap dan berpedoman pada silabus yang ada.
2. Asma 1 (Asal Masuk Kelas)
Penyakit asma (asal masuk kelas) juga tidak kalah banyaknya menggerogoti para guru. Mereka tidak memperhatikan lagi untuk apa masuk kelas, materinya sampai mana, sekarang mau membahas apa dan sebagainya. Para guru yang berpenyakit asma juga tidak peduli dengan keadaan kelas yang ramai, anak-anak yang belum siap diberi ilmu tetapi langsung saja ‘nyerocos’ memberikan materi.
3. Asma 2 (Asal Materi Habis)
Penyakit asma berikutnya yang juga banyak menyerang bapak ibu guru adalah asal materi habis. Kebanyakan mereka mengajar dengan cepat, monoton, dan tidak pernah mengubah gaya mengajar. Mereka tidak mempedulikan apakah anak-anak bisa mengikuti, mengerti, memahami materi yang diberikan. Yang ada dalam benaknya hanyalah yang penting materi habis sehingga bisa mengadakan ulangan (evaluasi).
4. Batuk (Belajar Atau Tidak Urusan Kemudian)
Bagaimana jika seorang guru mengajar tanpa pernah memahami apa yang akan disampaikan. Tentu anak-anak yang akan menjadi korban. Bapak ibu bisa berdalih dengan seribu cara untuk menutupi kesalahan, namun lagi-lagi anak didiklah yang dijadikan korban. Maka dari itu sebelum mengajar usahakan sebelumnya sudah membuka-buka literatur dan memahami apa yang akan disampaikan kepada anak didiknya.
5. Diabed (Datang Inginnya Absen Tok, Baru Kemudian Etung-etungan (hitung-hitungan) Duit)
Banyak guru yang hanya memikirkan masalah kehadirannya di sekolah bukan kinerjanya dalam membangun anak didik. Jika mereka lupa tidak absen sepertinya sudah kehilangan sesuatu yang besar karena akan ada potongan honor. Tetapi sebaliknya jika lupa tidak mengajar di kelas atau tidak mendidik siswanya menganggap sebagai masalah yang ringan.
6. Diare (Di Kelas Anak Diremehkan)
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pembelajaran di kelas. Salah satu faktor yang paling berperan atau sangat penting adalah guru. Sikap seorang guru sangat berpengaruh terhadap jalannya proses suatu pembelajaran. Berbagai pengalaman positif maupun negatif yang dialami siswa di dalam kelas, tidak pernah terlepas dari tindakan dan sikap guru. Apalagi jika pengalaman negatif, akan meninggalkan bekas bagi emosi siswa.
7. Gaptek (Gagap Teknologi)
Sekarang ini masih saja ada guru yang gaptek (gagap teknologi). Tidak mengenal komputer, apalagi membuat program pembelajaran dengan memanfaatkan komputer. Memegang mouse saja masih kaku sehingga jangankan membuat powerpoint, menulis RPP saja tidak bisa. Mengingat perkembangan teknologi yang begitu pesatnya mau tidak mau memaksa guru untuk mengikuti perkembangannya. Guru harus mau belajar bagaimana memakai komputer dalam pembelajaran, menggunakan powerpoint untuk presentasi dan sebagainya. Jangan sampai guru kalah sama muridnya yang lebih canggih dalam mengoperasikan komputer.
8. Gatal (Gaji Tambah Aktifitas Lesu). Gaji ingin terus bertambah, tapi melaksanakan tugas kewajiban tidak mau berubah. Mengikuti sertifikasi sangat ambisi padahal kurang memiliki kompetensi tujuan utamanya ingin berpenghasilan tinggi mendapat gaji tunjangan profesi.
9. Ginjal (Gaji Nihil Jarang Aktif Kerja Lamban)
Guru dengan gaji yang minim sehingga lebih memilih mencari bisnis tambahan di luar jam mengajar dibanding aktif mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan masalah pendidikan. Banyak kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan namun hanya beberapa guru yang mengikuti seperti seminar guru profesional, diklat yang berhubungan dengan pembelajaran, atau work shop pendidikan.
10. Hipertensi (Hiruk Persoalkan Tentang Sertifikasi)
Akhir-akhir ini dunia sekolah baru disibukkan dengan masalah sertifikasi. Banyak guru yang sibuk mengurusi sertifikasi sehingga melupakan kewajibannya mengajar di kelas.
11. Kanker (Kantong Kering). Gaji satu bulan habis satu minggu, karena besar pasak daripada tiang, tinggi kemauan rendah kemampuan. Penghasilan tidak memenuhi kebutuhan, akibatnya hilanglah semangat melaksanakan tugas, malas masuk kelas, sering mangkir tidak hadir.
12. Kram (Kurang Terampil)
Sebagai guru kita harus terampil dalam banyak hal. Seperti dalam menggunakan model pengajaran, strategi, atau memanfaatkan teknologi yang lebih canggih sekali pun. Kita tahu guru masih ada yang tidak bisa komputer, gagap internet. Padahal sebenarnya guru bisa memanfaatkan teknologi untuk mengganti kita, agar anak didik kita lebih jelas/memahami pelajaran.
13. Kudis (Kurang Disiplin)
Penyakit ini lebih sering menyerang para guru dan cepat menular. Bayangkan saja, jika jam bel masuk sudah berbunyi kebanyakan guru masih meneruskan kegiatannya seperti ngobrol dengan teman sebangku, masih asyik main komputer, bahkan ada yang menikmati menu makan siangnya. Oleh karena itu seharusnya dalam dunia ‘guru’ dicanangkan budaya malu, seperti: Malu datang terlambat, Malu tidak mengajar, Malu pulang duluan, Malu tidak disiplin, Malu tidak membuat RPP, Proter (Program Semester) dan sebagainya.
14. Kuman 1 (Kurang Iman)
Penyakit lain yang sering menggerogoti guru adalah kuman (kurang iman). Tidak sedikit guru yang goyah imannya ketika melihat dana bantuan cair. Apalagi guru yang merangkap tugasnya sebagai bendahara sekolah, tentu akan lebih memiliki kesempatan untuk menguji kadar imannya.
15. Kuman 2 (Kurang Amanah)
Kuman lain yang mengancam bapak ibu guru adalah kurang amanah. Bapak ibu guru di sekolah adalah orangtua bagi anak di sekolah. Jadi seharusnya bapak dan ibu guru menjaga anak didiknya seperti merawat anaknya sendiri di rumah.
16. Kurap (Kurang Rapi)
Penyakit guru yang masih berhubungan dengan kepribadian adalah kurap (kurang rapi). Misalnya pada pakaian. Tak jarang kita melihat guru dengan baju kumal atau lusuh karena tidak pernah tercium setrika. Tentu hal ini akan mengganggu konsentrasi anak saat mengikuti pelajaran.
17. Kusta (Kurang Strategi)
Guru yang terserang penyakit kusta masuk kelas mengajar dengan tanpa strategi. Hal ini sering ditandai dengan banyaknya siswa yang keluar masuk saat guru mengajar. Dalam hal ini guru belum mampu menunjukkan kompetensi-kompetensi yang diharapkan oleh siswanya sehingga dapat menjadikan proses belajar mengajar terganggu. Sebab, tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik serta menjadi seorang manajer di suatu kelas.
18. Kutil (Kurang Teliti)
Kurang teliti, contoh saat mengoreksi lembar jawab ulangan. Terkadang ada saja yang salah dalam menghitung jumlah, atau menyalahkan jawaban yang sebenarnya betul, atau sebaliknya. Membenarkan jawaban yang salah. Hal ini tentu merugikan peserta didiknya.
19. Lesu (Lemah Sumber)
Guru yang lemah sumber niscaya dalam pelajaran berlangsung kurang bahan yang diajarkan kepada anak didiknya. Hal ini akan berakibat pada sedikitnya pengetahuan anak didik kita. Maka dari itu sebagai pengajar harus banyak memiliki sumber baik dari membaca berbagai buku/modul pelajaran, dari koran, majalah, dan sebagainya.
20. Liper (Lekas Ingin Pergi). Tidak betah berada di sekolah, tidak antusias masuk ke kelas bahkan sebaliknya ingin segera pulang untuk mencari penghasilan tambahan. Kadang-kadang usaha sampingan diutamakan tugas utama mengajar dilupakan.
21. Mencret (Mengajar Ceramah Terus)
Mengajar dengan ceramah terus juga sering kita jumpai. Guru tidak lagi peduli dengan keadaan kelas. Apakah anak-anak sudah paham dengan apa yang diberikan atau belum. Semua itu bukanlah menjadi beban bagi guru. Dalam pikiran mereka hanya terbersit “saya sudah menyampaikan materi ini”.
22. Mual (Mutu Amat Lemah)
Mutu pendidikan tergantung dari mutu pelajaran yang diberikan guru. Seandainya guru tidak bisa meningkatkan mutu pendidikan kita, maka akan mempengaruhi mutu pendidikan anak didik. Oleh karena itu guru harus meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Misalnya dengan sering mengikuti workshop, pelatihan program bermutu, sering berdiskusi sesama sejawat di forum/KKG membagi masalah atau pengalaman pada sesama sejawat, agar semua poblem permasalahan dapat di atasi, setidaknya akan menambah mutu pendidikan kita.
23. Prostat (Program dan Strategi Tidak Dicatat). Ketika KBM tidak disertai Silabus dan RPP, tanpa dilengkapi program dan strategi mengajar yang ditulis sistematis.
24. Rematik (Rendah Motivasi Anak Tidak Simpatik). Tidak semangat ketika mengajar di hadapan anak didik, performance tidak menarik sehingga anak didik tidak simpatik bahkan sebaliknya antipati akhirnya melemahkan bahkan menghilangkan gairah belajar. Tampil mengajar tidak menyenangkan siswa.
25. Salesma (Sangat Lemah Sekali Membaca)
Umumnya guru jarang suka membaca. Padahal untuk menambah ilmu pengetahuan yang dimiliki guru, mau tidak mau harus membaca (memang tidak hanya dengan membaca, bisa dengan melihat televisi atau mendengarkan radio). Namun membaca adalah gudangnya ilmu karena dengan membacalah jendela dunia menjadi luas terbuka. Jika para guru saja berpenyakit salesma (sangat lemah dalam membaca) bagaimana dengan murid-muridnya? Tentu pengetahuan mereka tidak akan bertambah secara maksimal karena gurunya saja tidak memiliki pengetahuan yang optimal.
26. Sariawan (Siapkan Anak-anak Dengan Ringkasan, Aman Waktu Ujian)
Terkadang ada juga guru yang sengaja menyiapkan ringkasan untuk belajar anak didiknya agar saat ujian bisa dijadikan alat untuk ‘menyontek’. Kalau memang tujuan membuat ringkasan adalah agar belajarnya menjadi lebih mudah memang itu akan sangat membantu para siswa. Namun ketika ringkasan dipersiapkan oleh guru dengan tujuan biar aman saat menghadapi ujian kelak, maka itu merupakan suatu kesalahan besar.
27. Sembelit (Sedikit Membaca Literatur)
Penyakit sembelit hampir sama dengan lesu. Untuk memberikan pelajaran pada anak kebanyakan guru malas mencari literaturnya. Padahal literature tidak harus berupa buku-buku tebal pendukung materi pelajaran. Literature bisa didapatkan dari dunia maya seperti internet. Jadi tidak perlu susah payah ke perpustakaan atau toko buku untuk menambah ilmu pengetahuan. Tinggal membuka internet dan mencari apa yang dibutuhkan.
28. Struke (Suka Terlambat, Rupanya Kebiasaan)
Penyakit yang juga umum menyerang hampir sebagian besar guru di Indonesia adalah kebiasaan terlambat. Suatu perbuatan yang tidak baik namun menjadi kebiasaan. Parahnya lagi dibuat sebagai sesuatu yang wajar dan dimaklumi. Jadi bukan suatu hal yang perlu dijadikan beban jika ada guru terlambat jam saat mengajar.
29. TBC 1 (Tidak Bisa Computer)
Dalam hubungannya dengan keterampilan, banyak juga guru yang mengidap penyakit TBC alias tidak bisa computer. Setiap menjalankan tugasnya hanya bermodalkan buku pegangan (modul), spidol, dan papan tulis. Tidak mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi yang semakin maju. Hal ini tentu akan menghambat pengetahuan para peserta didik. Mengingat kemajuan teknologi yang begitu pesat, mau tidak mau dunia pendidikan harus mengimbanginya agar tidak ketinggalan ilmu pengetahuan.
30. TBC 2 (Tidak Banyak Cara)
Guru dengan penyakit TBC dalam mengajar hanya asal tanpa memperhatikan bagaimana reaksi anak didik. Padahal banyak cara yang bisa dilakukan guru dalam menyalurkan ilmunya kepada anak didik. Seperti metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), resitasi, eksperimen, demonstrasi, outbond, analisa data, LCD, Powerpoint dan masih banyak metode pembelajaran yang masih bisa digunakan.
31. THT (Tukang Hitung Transportasi)
Guru yang profesional seharusnya tidak mempermasalahkan soal transportasi atau uang sampingan lain seperti honor koreksi, wali kelas, pengawas ujian, akomodasi, dan lain sebagainya. Semua sudah ada aturan yang mengurusi masalah yang berhubungan dengan keuangan. Namun kenyataannya tidak sedikit guru yang mempunyai penyakit THT atau tukang menghitung transportasi.
32. Tipus (Tidak Punya Selera)
Penyakit guru selanjutnya adalah “Tipus” tidak punya selera. Ibarat orang sakit yang tidak punya selera untuk makan. Begitu juga dengan guru yang berpenyakit tipus. Mereka tidak punya selera untuk mengajar. Apalagi untuk mendidik anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
33. WTS (Wawasan Tidak Luas)
Guru yang profesional dituntut mempunyai wawasan lebih luas. Guru harus mengetahui banyak hal untuk mengajar seperti macam model-model pelajaran, materi-materi yang berkaitan dengan pelajaran dan sebagainya. Guru juga harus mengikuti perkembangan teknologi agar tidak ketinggalan zaman.
Selain itu, banyak juga guru yang mengidap penyakit AIDS. Apa itu? AIDS : Angkuh, Iri, Dengki, Sombong.
Bila penyakit itu diklasifikasi, maka akan menjadi tiga jenis keterampilan (skill), yaitu: pertama, kemampuan personal (kepribadian), kedua, metodologis, dan ketiga, teknis (Ahmad Baedowi, 2014).
Berkenaan dengan aspek kemampuan kepribadian guru, penyakit yang disinyalir ada meliputi THT (tukang hitung transportasi), hipertensi (hiruk persoalkan tentang sertifikasi), kudis (kurang disiplin), dan asma (asal masuk). Banyak sekali dijumpai guru yang selalu berhitung soal pembagian transport dari dana BOS, kecurangan dalam hal proses sertififikasi, kurang disiplin dan masuk sembarangan hanya sekadar memenuhi absensi. Gejala ini sangat umum terjadi di lingkungan guru dan sekolah kita.
Diklasifikasi kedua, yaitu soal aspek metodologis, disinyalir guru bahkan memiliki lebih banyak penyakit. Jenis-jenis penyakitnya, antara lain salesma (sangat lemah sekali membaca), asam urat (asal mengajar, kurang akurat), kusta (kurang strategi), kurap (kurang persiapan), stroke (suka terlambat, rupanya kebiasaan), keram (kurang terampil), serta mual (mutu amat lemah). Aspek metodologis ini memang sangat terkait erat dengan faktor courage dan kesadaran untuk berkembang yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru.
Pada diklasifikasi ketiga yang menyangkut aspek keterampilan, penyakit guru disinyalir adalah TBC (tidak bisa computer) dan gaptek (gagap teknologi). Kita memang tak cukup punya bukti statistik, seberapa banyak sebenarnya jumlah guru yang sampai saat ini belum bisa dan mengerti soal komputer dan makna penting teknologi sebagai bagian dari pengembangan bahan ajar di kelas.
Merebaknya jenis-jenis penyakit di atas, jelas memberi kita gambaran kondisi dan suasana batin para guru kita saat ini. Jika penyakit-penyakit tersebut memang benar adanya, kesalahan pertama harus kita tempatkan kepada otoritas pendidikan kita yang salah dalam merumuskan kebijakan soal pengembangan kapasitas profesional guru.
Sebelum berbagai penyakit di atas semakin mewabah dan merambah pada jiwa setiap guru, maka perlu segera melakukan tindakan antisipatif dan preventif dengan meminum obat mujarab yaitu “IMTAK” dan “IPTEK” (meningkatkan kualitas keimanan dan merealisasikan ketakwaan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi) (Alyudiantoro, 2011).
Kebohongan yang Dikatakan Guru di Sekolah sebagai Dosa
Selain sejumlah dosa, kesalahan, dan penyakit guru sebagaimana dipaparkan di atas, ternyata ada sejumlah kebohongan yang dikatakan guru di sekolah dan kenyataannya berbeda. Bohong berarti mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada orang lain. Kebohongan dan kejujuran bagaikan sebuah mata uang logam dengan dua sisi. Keduanya mempunyai arti dan manfaat sendiri-sendiri. Kapan sisi kejujuran digunakan dan kapan pula sisi kebohongan dimanfaatkan dengan bijaksana. Tanpa merugikan diri sendiri, orang lain.
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan DEWA! Mereka tak selalu benar. Dan murid bukan kerbau!” (Sok Ho Gie, 1942-1969).
Opan (2013) mengemukakan lima kebohongan yang dilakukan guru, khususnya ketika di kelas dan lingkungan sekolah, yakni (1) selalu terlihat tidak memiliki masalah dalam hidupnya; (2) selalu mengatakan mudah; (3) pekerjaan rumah untuk menambah ilmu; (4) pujian untuk pencapaian siswa sekecil apapun; dan (5) sering bertanya, seolah-olah tidak tahu.
Zonkemo (2013) membeberkan sederet kebohongan yang dikatakan guru di sekolah dan kenyataannya.
- Kami di sini untuk membantumu memahami pelajaran. Kenyataannya: kami di sini untuk memaksamu menghafalkan pelajaran. Jika kamu tidak bisa, kami akan menghukummu atau tidak meluluskanmu dalam ujian.
- Kami akan punya banyak waktu untuk sampai ke kelasmu sebelum bel berbunyi. Kenyataannya : pelajaran-pelajaran disampaikan dengan waktu yang tak pernah mencukupi. Beberapa guru memaksa kami untuk mengurangi waktu istirahat dan kami tak punya pilihan lain. Guru selanjutnya tak mau mengerti bahwa waktu istirahat kami berkurang karena dipotong jam pelajaran sebelumnya, kami harus tetap masuk kelas berikutnya tepat pada waktunya.
- Seragam sekolah dimaksudkan untuk menghindari diskriminasi. Kenyataannya: kami tetap terdiskriminasi. Murid-murid masih bisa dibedakan berdasarkan kelas sosialnya masing-masing. Mungkin kami memakai seragam yang sama, tetapi kami tetap bisa berlomba-lomba untuk terlihat menjadi yang paling kaya atau yang paling miskin melalui sepatu, handphone, atau lainnya. Bahkan sepeda motor dan mobil-mobil.
- Kalian harus menguasai semua pelajaran, itu penting untuk masa depan. Kenyataannya: hampir tidak ada guru yang menguasai semua pelajaran, kan? Kalau tidak percaya, tanyalah guru geografi? Kecil kemungkinan dia menguasai Matematika atau Fisika. Ajak guru sejarah mengikuti tes olahraga, nilainya belum tentu sebaik temanmu yang jago olahraga tetapi buruk nilai pelajaran sejarahnya. Di dunia nyata, tak ada satupun pekerjaan yang membutuhkan semua kemampuan, semua nilai baik dalam semua pelajaran! Di dunia kerja: jika kamu mengetahui semuanya, itu sama artinya dengan kamu tak menguasai semuanya. Setiap orang memiliki kecerdasannya masing-masing unik dan berbeda, sekolah berusaha menyeragamkannya sambil menganggap yang cerdas hanya mereka yang pandai menghafal.
- Merokok tidak baik untuk kesehatan dan tidak diperbolehkan di sekolah. Kenyataannya: guru olahraga merokok di kantin dan memesan kopi hitam pada penjaganya. Kepala sekolah merokok di ruangannya sendiri. Kami merokok sembunyi-sembunyi, di mana saja, termasuk di toilet sekolah.
- Kalian adalah angkatan terburuk sepanjang sekolah ini berdiri. Kenyataannya: kalimat itu diucapkan hampir setiap tahun pada semua angkatan. Tidak ada angkatan yang baik di antara kami.
- Lebih dari kalian, guru-guru berharap agar kalian sukses dalam ujian nasional. Kenyataannya: mereka takut ditegur kepala sekolah atau kementrian pendidikan jika salah satu di antara kami tak lulus ujian. Mereka akan dianggap tak becus mengajar.
- Guru BK selalu ada untuk mendengarkan. Kenyataannya: mereka ingin didengarkan. Jika dipanggil keruangannya, mereka akan memarahi kita dan berteriak: “Dengarkan saya!”
- Kami tidak membutuhkan uang kalian. Kenyataannya: setiap kali membangun ruangan baru, uang gedung akan dibebankan pada SPP bulanan kami. LKS dijual setiap semester dan kami wajib membelinya. Buku-buku teks pelajaran ditentukan agar “seragam”, karena membelinya langsung dari guru lebih baik karena akan mendapatkan diskon 25% dan namanya akan dicatat di list khusus yang entah berfungsi untuk apa.
Harus diakui bahwa kebohongan yang dilakukan seorang guru bukanlah semata-mata untuk meraih keuntungan bagi dirinya dan bukan semata-mata kepura-puraan untuk membentuk image yang baik dan disegani, namun merupakan salah satu ”strategi” pembelajaran.
Kebohongan semacam di atas disebut sebagai “dusta semu”. Alex Sobur (1998) mengemukakan ciri-ciri dusta semu sebagai berikut: (1) dusta semu sering disebabkan karena daya khayal; (2) dusta semu tidak mengetahui antara yang benar dan yang tidak benar; (3) dusta semu tidak bermaksud untuk memperdayakan seseorang; (4) dusta semu tidak bermaksud mencari keuntungan dengan tidak mengatakan yang tidak benar itu; dan (5) dusta semu disebabkan karena pengamatan yang salah.
Tiga Dosa Besar di Sekolah
Di samping “dosa”, “virus” dan “penyakit” guru sebagaimana penulis telah rangkumkan, dalam dunia pendidikan, dikenal dengan istilah tiga dosa besar yang merupakan permasalahan serius yang mengancam keamanan dan kesejahteraan peserta didik di lingkungan sekolah. Kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi merupakan masalah yang tidak hanya mengganggu proses pembelajaran, tetapi juga membahayakan masa depan generasi penerus bangsa. Kehadiran tiga dosa besar ini mencerminkan kondisi yang memprihatinkan dalam sistem pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Tiga dosa besar yang disoroti oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam konteks pendidikan mencakup kekerasan seksual, perundungan atau kekerasan, serta intoleransi. Penggunaan bahasa agama sebagai salah satu dosa besar menyoroti pentingnya kesadaran akan keberagaman dan toleransi di lingkungan pendidikan. Penekanan pada tiga dosa besar tersebut menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal pembelajaran akademis, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan beretika bagi semua peserta didik.
Kekerasan seksual sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual dengan paksaan kepada seseorang (WHO, 2017). Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuran anak (UNICEF, 2014).
Dalam pandangan Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005), bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang mempunyai kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Selain dampak secara fisik, korban bullying pun mengalami berbagai masalah psikologis, seperti luka batin, kecemasan, sering bermimpi buruk, sulit mempercayai orang lain (trust issue), depresi, menyakiti diri sendiri (self-harm) atau bahkan bunuh diri.
Intoleransi adalah suatu sikap, pandangan dan perilaku yang tidak menerima perbedaan orang lain, kelompok lain maupun komunitas lain sehingga memandang sesuatu yang berbeda darinya sebagai suatu hal yang salah, haram dan harus dimusuhi, diperangi, serta dimusnahkan (Projo Prastowo dalam Subagyo, 2020). Kasus intoleransi terus meningkat karena munculnya berbagai penolakan terhadap perbedaan. Senada dengan itu Romo Antonius Benny Susetyo (Adal, 2023) menyatakan bahwa intoleransi terus meningkat setiap waktunya, seperti pendirian tempat ibadah yang sulit, pemakaman, dan hak-hak minoritas. Selain itu Retno juga mengungkapkan beberapa kasus intoleransi yang terjadi di sekolah: pertama, pelarangan penggunaan hijab di sekolah SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Kedua, kebijakan yang mewajibkan siswa mengenakan seragam muslim di SD Negeri 3 Karang Tengah Yogyakarta (Media, 2021).
Dalam konteks pendidikan, ketiga dosa besar ini memiliki potensi serius untuk mengganggu pembelajaran, merusak iklim sekolah yang kondusif, dan membahayakan kesejahteraan mental serta fisik peserta didik.
Kehadiran dosa-dosa tersebut dapat menciptakan atmosfer yang tidak aman dan tidak kondusif untuk belajar, mengganggu kesejahteraan mental dan fisik para siswa. Dampak dari kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi juga dapat mengganggu proses pembelajaran, menyebabkan penurunan motivasi belajar, dan menghambat perkembangan pribadi serta akademik peserta didik.
Selain itu, keberadaan dosa-dosa tersebut dapat merusak reputasi sekolah, mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan, serta menghambat upaya membangun lingkungan pendidikan yang inklusif dan beretika. Oleh karena itu, penanganan serius dan tindakan preventif yang efektif sangatlah penting untuk mencegah dan mengatasi dampak negatif dari tiga dosa besar di sekolah.
Solusi Kesehatan Guru
Dosa, virus dan penyakit di atas dialami oleh : saya, engkau dan kita. Keluar dari dosa-dosa guru harus ada keberanian. ”Kalian harus punya keberanian, dan pantang menyerah? Menghadapi tantangan macam apa pun! Dan Ingat! Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya! (Harfan, Laskar Pelangi).
Ada sebuah pepatah yang mengatakan “Setiap penyakit pasti ada obatnya”, termasuk juga penyakit-penyakit guru sebagaimana diuraikan di atas. Akan tetapi ada pepatah lain yang mengatakan: “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Pepatah yang kedua inilah yang seharusnya diingat-ingat oleh guru agar dapat terhindar dari penyakit-penyakit guru tersebut.
Waspadalah jenis-jenis penyakit di atas jangan sampai diderita oleh para guru. Apabila macam-macam jenis penyakit kronis tersebut di atas bersemayam dalam sikap mental dan psikologis guru sehingga mengalami komplikasi akut, maka sangat membahayakan terhadap kualitas pendidikan siswa. Jenis-jenis penyakit mental di atas termasuk penyakit menular yang dapat melumpuhkan bahkan membunuh potensi yang dimiliki siswa. Dampak negatifnya potensi yang dimiliki siswa bukan meningkat menjadi kompetensi tapi justru membuat siswa impotensi, kurang berprestasi (Subhan, 2011).
Adapun resep-resep lainnya untuk menjaga kesehatan guru antara lain : guru harus selalu mempunyai semangat yang terkontrol; guru harus selalu mempunyai ilmu yang terus berkembang; guru harus selalu mempunyai rencana yang rapi; guru harus selalu mempunyai variasi kecerdasan; guru harus menjadi pemimpin yang bijaksana; dan guru harus dapat menjaga amanah (Growth Mindset Privat, 2014).
Semoga !!!