INIPASTI.COM – Heterogenitas Masyarakat Indonesia sebagai penduduk Islam terbanyak di dunia tentu menjadi sampel yang sangat penting dalam moderasi beragama, isu ini bahkan menjadi inti dari ajaran Islam yaitu agama yang rahmatan lil’ alamin (Mohammad 2022).
Moderasi beragama telah menjadi isu kontemporer di Indonesia, betapa tidak di abad ke 21 ini masih sering ditemukan kajian-kajian tentang moderasi beragama, bahkan di tahun 2019 Menteri Agama menetapkan tahun tersebut adalah tahun Moderasi Beragama, tak berhenti sampai situ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mendeklarasikan di tahun yang sama sebagai ‘’The International Year of Moderation’’ (Nurhidin 2021).
Isu ini muncul tidak dengan sendirinya, namun pemicunya adalah ketidaksadaran diri di tengah masyarakat baik dari kalangan bangsawan, politikus, hingga tokoh agama tentang pluralisme yang sering disebut dengan intoleran, tidak adanya atau kurangnya toleransi dan sikap menghargai dan menghomati antar suku, etnis, bangsa dan agama.(Khoirunnissa and Syahidin 2023).
Moderasi, kata tersebut diambil dari bahasa Latin yaitu moderatio yang mempunyai arti seimbang dengan makna tidak berlebihan dan juga tak kurang. Sedangkan dalam bahasa Arab diambil dari kata wasatha yang berarti di bagian tengah tempat. Menurut Syekh Yusuf Al-Qardhawy kata wasathiyah selaras dengan kata at-tawaazun yaitu upaya penyeimbangan dua sisi (Damanik 2021).
Sementara beragama adalah menganut ajaran agama tertentu dan berupaya menjalankan prinsip kepercayaan kepada Tuhan (Nurdin 2021). Narasi yang dibawa dengan mengedepankan rasionalitas dengan tanpa membatasi garis rasionya sehingga menimbulkan pemikiran dan penafsiran yang juga tak punya limit ruang lingkupnya.
Berangkat dari pengertian tersebut selanjutnya akan dibahas dua pandangan tentang moderasi beragama melalui dua tokoh Islam modern ini yang dimulai dengan Quraish Shihab dan pandangannya tentang moderasi beragama.
Muhammad Quraish Shihab lahir di (Sidenreng Rappang), Sulawesi Selatan. Jalur asalnya bersambung hingga Rasulullah Saw. Quraish Shihab mengemukakan dan menekankan bahwa sebagai seorang muslim harusnya dalam memahami ayat-ayat Tuhan dan hadis, perlu pendekatan kontekstual tidak memaknai keduanya dengan tekstual sebab apa yang terkandung dibanding apa yang tertulis bisa jauh lebih besar pesannya sehingga kehidupan bersosial antara masyarakat Islam secara internal dan masyarakat internasional bisa terjalin dengan saling menghargai melalui pesan-pesan Tuhan yang disematkan.
Jika permasalahan itu ibarat tongkat maka Wasatiyah adalah menjaga keseimbangan massa yang ada di tengah agar tak condong ke ujung depan atau ujung belakang, ke kanan atau ke kiri, terlalu liberal atau terlalu tekstual, gerakan, pemikiran dan tindakan harus berjalan sesuai porsi yang dibutuhkan agar tak terseret kemana-mana (Putri and Fadlullah 2022).
Contoh Kasus Moderasi Beragama: Ucapan Natal Kepada Non Muslim Dalam QS. An-Nisa ayat 86 yaitu;
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” QS.An-Nisa/3:86.
Kata “huyyiitum bitahiyyatin” yang memiliki makna do’a untuk memperpanjang usia ini umumnya diucapkan hanya kepada raja-raja. Bahkan dalam salat attahiyyat/penghormatan itu ditujukan kepada Allah.
Kata itu kemudian digunakan untuk menghormati seseorang secara umum, bahkan orang Arab Jahiliyah menggunakannya untuk saling menghormati saat bertemu (Zahro 2020) Quraish Shihab membolehkan ucapan selamat natal kepada non muslim dengan mengemukakan penguat dari ayat lain yaitu QS. Maryam/19:33;
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”.
Melalui ayat ini Quraish Shihab berpendapat meskipun ucapan non muslim itu dimaknai sesuai dengan kepercayaan mereka maka biarlah demikian karena muslim juga punya kepercayaan tentang Nabi Isa AS. Perlu digarisbawahi sekalipun Quraish Shihab membolehkan pengucapan natal namun harus dibarengi dengan keyakinan bahwa ucapan balasan dari muslim ke non muslim terkait natal adalah ucapan selamat atas lahirnya Nabi Isa AS.
Berdasarkan hal di atas jika berbicara tentang hukum mengucapkan dan menjawab selamat natal adalah boleh bukan sunnah menurut Quraish Shihab, namun bisa berubah menjadi sunnah jika kita berada dalam lingkungan yang mengharuskan kita untuk menjaga jalinan kasih sayang kepada selain muslim, dalam hal ini jika tidak menjawab ucapan-ucapan tersebut bisa menimbulkan kesan yang tidak baik tehadap Islam dan muslim atau bahkan bisa menyebabkan konflik.
Maka hukum itu akan selalu berubah tergantung situasi dan kondisi seorang mukallaf. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa Quraish Shihab menekankan kepada seorang muslim untuk menanamkan sikap moderasi beragama dalam hidup bersosial, agar kerukunan tetap selalu terjaga sebagai proyeksi dakwah Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Pada 27 Ramadan 1347 H., Muhammad bin Salih al-Utsaimin lahir di kota ‘Unaizah salah satu kota di Al-Qashim. Manhaj salaf merupakan manhaj yang beliau perpegangi dalam menuntut ilmu, dimulai dengan menghafal Al-Qur’an, tauhid, tafsir, hadis dan fiqhi salah satu gurunya dalam bidang-bidang yang tersebutkan adalah Syekh al-Allaamah al-Mufassir Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahullah (Zahro 2020).
Beliau berpendapat toleransi dalam pengucapan selamat natal kepada non muslim adalah haram menurut ijma’ para ulama, hal tersebut dikutip dari pendapat Syaikh Ibnu Al-Qayyim yang terdapat dalam bukunya; Ahkam Ahl Al-Dzimmah; ‘’Mengucapkan selamat hari natal dan ikut dalam syiar-syiar mereka adalah haram secara ijma’’
Bahkan dosa mengucapkan selamat natal, hari raya, dan syiar lainnya adalah lebih dibenci oleh Allah dibandingkan dengan ucapan selamat kepada mereka setelah meminum khamar, berzina, membunuh, dan sejenisnya (Zahro 2020).
Orang yang ikut dalam syiar tersebut adalah orang yang tidak mengetahui keburukan perbuatannya, yang dengan karenanya ia mengundang murka Allah kepada sekalian muslim. Menurut Syaikh Utsaimin memenuhi undangan syi’ar-syi’ar non muslim adalah haram dan berdosa besar, jauh lebih buruk dari hanya sekadar mengucapkan salam kepada mereka.
Baik Quraish Shihab dan Syaikh Utsaimin membahas satu tema yang sama yaitu ucapan selamat natal sebagai isu moderasi beragama dalam masalah ini, lalu kemudian kajiannya bersifat tematik deskriptif untuk masing-masing pendapat. Keduanya sama-sama ingin mengupayakan ajaran Islam bersifat murni dan tidak berlebihan.
Pengertian moderasi telah dibahas sebelumnya adalah tidak berlebihan dalam bertindak, berpikir, dan berpendapat. Menurut Quraish Shihab ucapan selamat natal kepada non muslim tidak dimaksudkan untuk mengakui keyakinan mereka, akan tetapi sebagai bentuk menciptakan suasana damai antar umat beragama dengan tidak berlebihan dengan mengikuti akidah mereka.
Selama keyakinan seorang muslim teguh dalam dada maka hukumnya boleh, dari sini hemat penulis terhadap sikap ini adalah perlunya kesadaran bersosial kepada lingkungan sekitar dengan sikap saling menghormati antar pemeluk umat beragama. Sementara menurut Syaikh Utsaimin ucapan selamat natal kepada non muslim adalah sebuah ajaran yang mengada-ada (red: bid’ah) karena termasuk dukungan terhadap keyakinan dan syi’ar mereka.
Sehingga hal tersebut dimurkai oleh Allah bahkan dosanya lebih besar dari ucapan selamat setelah mereka membunuh, fitnah, zina dan lainnya (Zahro 2020). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Syaikh Utsaimin banyak mengambil pendapat-pendapat Ibnu al-Qayyim yang memacu pada manhaj salaf (Febrianti 2021), yaitu segala sesuatu dikembalikan kepada perilaku sunnah dan Al-Qur’an.
Sejauh pengamatan saya sebagai penulis saya ‘belum’ menemukan pemaknaan langsung Syaikh Utsaimin terhadap moderasi beragama, namun dalam sikap hukum beliau terhadap isu-isu moderasi beragama seperti permasalahan ucapan selamat natal ada ‘kesan’ bahwa moderasi beragama menurut beliau terkandung dalam QS.
Al-Kafirun/109:6, lakum diinukum waliyadin bagimu agamamu bagiku agamaku, hal itu dikuatkan dengan makna moderasi beragama itu sendiri adalah adil, dan tidak berlebihan. Wallahu a’lam (sdn)