TRENDING adalah salah satu istilah intrnet yang menyusup masuk ke dalam kosa kasa sehari-hari.
Pembaca berita memberi tahu kita suatu cerita sedang trending, editor memberitahu staf dia ingin interview yang bisa jadi trend dan aktivis ingin agar perjuangan mereka jadi trend.
Tujuan dari banyak organisasi berita dewasa ini adalah agar konten media mereka di-shere seluas mungkin, tersebar secepat mungkin dan lintas sebanyak mungkin platform sehingga konten tersebut bisa bertahan sendiri, mencapai level dibahas di mana-mana dan akhirnya berhak menyandang status keramat “menjadi viral”.
Namun, bagaimana bisa pertanyaan “apa yang sedang trending” itu menjadi trend online yang begitu tersebar luas?
Fakta dan Perasaan
Untuk sampai ke akar trending, Anda harus kembali ke akhir tahun 2006, ketika sekelompok insinyur di negara bagian Virginia, Amerika Serikat, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Summize.
Sepintas lalu, website awalnya tampak mirip mesin pencari lainnya. Namun, jika Google dan Bing berfokus pada fakta dan angka, Summize lebih peka dan perasa.
“Kami memiliki premis bahwa ringkasan yang berrsifat real-time dan analisis sentimen itu penting–mengetahui bagaimana perasaan orang menanggapi suatu topik tertentu,” kenang salah seorang pendiri dan mantan kepala ilmuwan Summize, Abdur Chowdhury.
“Sering kali kita dapat menarik keluar tanggal pasti misalnya kapan Abraham Lincoln lahir–yang bersifat sangat faktual–tetapi (bukan) bagaimana perasaan orang tentang cuaca?
“Atau bagaimana perasaan Anda tentang topik politik ini atau itu?”
Pada saat itu, situs media sosial masih sederhana, sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut Summize pertama-tama berpaling kepada sumber tradisional dari opini online termasuk produk review dan blog.
Mr. Chowdhury bersama chief executive Summize, Jay Virdy, segera melihat bahwa jika berkenaan dengan opini, ada satu situs yang dengan cepat menjadi gudang penyimpanan: Twitter.
Mereka pun lalu mengarahkan teknologi mereka kepada platform tersebut dan segera menyaksikan hasilnya.
“Hanya dalam waktu enam minggu kami memperoleh lebih dari satu juga pencari sehari,” kata Mr. Chowdhury.
“Hal yang sedang hangat ketika itu adalah iPhone. Anda bisa lihat opini setiap orang dan apa yang mereka katakan tentang iPhone secara real time.”
Ketika menjadi jelas bahwa konten Twitter dan teknologi Summize adalah paduan yang cocok, penggabungan antara 12 pegawai Twitter dengan enam orang pekerja Summize menjadi sesuatu yang terhindarkan, tambah Chowdhury.
Pada tahun 2008, Twitter membeli Summize sehingga selanjutnya para user akhirnya bisa melakukan aktivitas search di dalam Twitter.
Trending dan tagar pun datang menyusul.
Pertumbuhan
Mr. Chowdhury menjadi ilmuwan kepala dari Twitter dan meskipun dia tidak ingat lagi dengan pasti kapan atau siapa yang mula-mula menggunakan istilah tersebut, namun dia ingat dengan baik kapan dia menyadari bahwa trending akan menjadi sesuatu yang besar.
Twitter dan Summize bergabung pada 2008
“Saya sedang naik kereta api dan saya berkata: “Ayo kita lihat apakah kita bisa membuat algoritme yang benar-benar bisa mengetahui apa yang orang sedang bicarakan,” katanya.
“Oleh karena itu, saya pun mulai menarik orang, tempat dan kata benda yang tengan didiskusikan di Twitter.”
Mr. Chowdhury menegaskan bahwa algoritme awal yang dibuatnya dikonsentrasikan pada lonjakan percakapan.
“Orang selalu berbicara tentang Apple dan McDonald atau BBC, tetapi apa yang benar-benar orang ingin tahu adalah apakah hal itu menyimpang?” jelas Chowdhury.
“Apakah hal itu jauh melampaui harapan?
“Dalam perjalanan kereta api, saya mulai melihat kata-kata benda bermunculan, saya mulai melihat Roma, Praha, London, dan Moskow.
“Apa yang saya sadari adalah bahwa saya sedang menyaksikan obor Oplimpiade diarak lari di seluruh Eropa. Pada saat itulah saya sadar bahwa trend–kemampuan untuk mengekstrak apa yang baru dan menarik dari peristiwa yang tengah terjadi secara real time–akan menjadi sesuatu yang besar.”
Mr. Chowdhury menerima fakta bahwa trending tiba-tiba saja mencuat keluar dari Twitter dan ditadah oleh situs-situs lainnya. Namun, dia agak merasa bahwa seiring dengan itu, visi aslinya telah hilang.
“Saat ini, trending tampaknya bagaikan sesuatu yang dicari kontennya yang menarik untuk disimpan di tempat teratas, bukan karena trend memang diinginkan oleh sebagian besar orang untuk dibicarakan pada saat itu,” katanya.
Ann Friedman, kolumnis dan editor majalah, menulis tentang jurnalisme dan teknologi. Dia mengatakan bahwa trending telah membuka mata media mainstream terhadap kisah-kisah yang bisa saja luput dari perhatian.
“Saya tidak terlalu senang dengan era trending karena saya pikir setiap trending topic dianggap ekuivalen dengan berita halaman depan, namun saya pikir para editor cenderung melupan beberapa hal–mereka bukanlah kelompok yang berbeda dan hal-hal seperti trending topic dan hashtag dapat benar-benar membawa sesuatu yang layak mereka perhatikan,” katanya.
“Saya senang melihat wartawan yang dipaksa oleh para pembacanya. Bagi saya, hal itu bagus bagi jurnalisme.”
Pada September 2011 Abdur Chowdhury meninggalkan Twitter dan meninggalkan apa yang dia namakan “pengalaman luar biasa”.
Namun, sumbangannya tidak dilupakan.
Bulan lalu, pada ulang tahun ke-10 Twitter, Chowdhury menerima ucapan terima kasih secara pribadi dan secara publik dari orang yang telah membeli Summize delapan tahun sebelumnya.
“Terima kasih @abdur karena telah menjadi ilmuwan paling cool yang saya kenal dan telah membangun mesin pencari dan trend Twitter,” seperti yang diposting oleh CEO bidang jaringan sosial Twitter, Jack Dorsey.