MAKASSAR – Enam tahun terakhir ini Sulsel termasuk provinsi dengan tingkat inflasi yang terkontrol. Angka inflasi 2014 tertinggi mencapai 8 persen dan setelah itu turun pada skala 4. Tetapi sepanjang enam tahun itu berada di angka 4,5 sampai 6 persen. Demikian ditegaskan Wakil Gubernur Sulsel di rumah jabatan, Minggu (3/7).
Dijelaskan, pengendalian inflasi itu terkait dengan langkah taktis dan strategis yang ditempuh pemerintah provinsi dengan melakukan rapat pengendali inflasi daerah dengan pihak Bank Indonesia serta bupati dan walikota, tegas mantan Sekretaris Partai Golkar Sulsel ini.
Selama dalam rapat itu juga diikutsertakan dari stakholder berupa distributor dan eksportir. Lewat rapat sekaligus mengecek harga-harga sembilan bahan pokok. Jika harga barang-barang itu bergerak naik sampai pada angka 15 persen, maka pemerintah segera mengambil langah strategis dengan melakukan penetrasi dan operasi pasar, tandas mantan Ketua DPRD Provinsi Sulsel ini.
Penetrasi pasar dilakukan dengan kerjasama BUMN dan perusahaan lainnya dalam akumulasi dana CSR. Lewat operasi pasar dengan pengendalian harga akan menjadikan barang kebutuhan tidak bergerak naik, ungkap Agus Arifin.
Pada beberapa kasus, ada sejumlah daerah dengan komoditas yang menjadi inflasi. Pinrang dengan beras, Bulukumba dengan ikan. Kondisi demikian tidak terlepas dari spesifik daerah masing-masing.
“Kasus di Bulukumba terkait dengan produksi dari petani, karena volume visibel untuk diangkut antar pulau, sehingga pedagang berminat masuk sehingga produksi petani diangkut keluar daerah,” katanya.
Ketika informasi itu masuk di Tim Pengendali Inflasi Daerah, tim turun melakukan pengontrolan, teryata nilai diperoleh petani NTP naik, terjadi inflasi tetapi menguntungkan petani, ungkap Ketua Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI) Sulsel ini.
“Kondisi inflasi naik, tetapi NTP turun itu berarti para .pedagang justru yang menikmatinya. Sebaliknya, inflasi naik tapi yang paling merasakan akibatnya adalah para pegawai,” tandasnya.