INIPASTI.COM – DATA baru dari penelitian Putaran Kedua yang dilakukan OECD PIAAC (Organisation for Economic Co-operation and Development Programme for International Assessment of Adult Competencies)–atau Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan dari Program Penilaian Internasional untuk Kompetensi Orang Dewasa–memperlihatkan bahwa warga Indonesia biasa (usia 25-65 tahun) yang tinggal di Jakarta, yang telah menyelesaikan perguruan tinggi (tertiary education), memiliki keterampilan baca tulis lebih rendah dari keterampilan baca tulis warga Yunani dan Denmark biasa yang hanya menamatkan pendidikan setingkat SMP (lower secondary school). Selain itu, warga Jakarta lulusan perguruan tinggi memiliki keterampilan baca tulis lebih rendah dibanding orang dewasa dari semua negara OECD yang hanya menyelesaikan pendidikan setingkat SMA (upper secondary schooling).
Tabel 1: Berdasarkan hasil assessment OECD PIAAC, warga Jakarta dengan pendidikan setingkat universitas memiliki keterampilan baca tulis sama dengan warga Denmark dengan pendidikan di bawah tingkat SMA.
Sumber: OECD, Skills Matter: Further Results, Table A3.2
Hasil yang ditemukan di Jakarta mengagetkan dan membenarkan semua premis empiris yang melatarbelakangi RISE (Research on Improving Systems of Education), Riset Pengembangan Sistem Pendidikan. Ini adalah jenis temuan tentang pendidikan di negara-negara berkembang yang mendorong diagendakannya penelitian RISE. Fokus RISE menjadikan sistem pendidikan dasar berporos pada pembelajaran (to pivot on learning) didasarkan atas observasi empiris terhadap status persekolahan (status of schooling) dewasa ini. Proses pembelajaran di banyak negara berkembang tertinggal sangat jauh di belakang negara-negara maju. Penilaian atau assessment kemampuan baca tulis didasarkan atas enam skala tingkatan mulai dari “di bawah level 1” sampai “level 5”. Seseorang yang berada pada level 1 (dengan mengumpulkan angka antara 176 dan 226) akan memiliki keterampilan sebagai berikut:
Sebagian besar tugas yang diberikan pada level ini mengharuskan responden untuk membaca teks digital atau cetak yang relatif pendek, baik teks yang berkesinambungan, tidak berkesinambungan, maupun gabungan teks untuk mencari suatu informasi tunggal yang identik atau sinonim dengan informasi yang diberikan dalam pertanyaan atau petunjuk soal. Sebagian tugas, misalnya tugas yang berkaitan dengan teks tidak berkesinambungan, boleh jadi mengharuskan responden untuk memasukkan informasi pribadi ke dalam suatu dokumen. Hanya sedikit, kalaupun ada, informasi saling bertentangan yang diberikan. Sebagian tugas lainnya mungkin mengharuskan responden untuk sekadar menandai lebih dari satu informasi. Pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali kosa kasa dasar yang menentukan makna sebuah kalimat, dan membaca beberapa paragraf teks diharapkan untuk dapat dilakukan.
Di Jakarta, 69 persen berada pada atau di bawah level 1 dalam kemampuan baca tulis (literacy)–32 persen berada di bawah level 1 dan 37 persen hanya sampai pada level 1. Sebagai perbandingan, hanya 4,5 persen dari penduduk OECD yang berada di bawah level 1.
Dalam hal keterampilan berhitung (numeracy), 60,4 persen penduduk Jakarta berada pada atau di bawah level 1. Hal yang lebih mengejutkan lagi, 42,3 persen penduduk Jakarta lulusan perguruan tinggi (tertiary education) berada pada atau di bawah level 1 dalam hal keterampilan baca tulis (dibandingkan dengan populasi OECD yang hanya 7 persen).
Dalam hal kemampuan baca tulis, warga Jakarta (median) meraih angka 200,5. Di Amerika Serikat, yang tidak dikenal sebagai negara yang memiliki program pembelajaran yang menonjol tetapi memiliki ketimpangan sosial yang tinggi, orang pada persentil ke-10 sekalipun meraih angka 200,2. Di negara-negara dengan pendidikan bermutu tinggi seperti Finlandia, Jepang, Republik Slowakia, dan Korea, orang dewasa pada persentil ke-5 memiliki capaian angka. Hampir sama dengan warga Jakarta tipikal.
Ada kesenjangan kesenjangan sosial di dalam negeri, namun orang berpendidikan tinggi di Indonesia sekalipun berada jauh di belakang standard global. Memang sudah sepatutnya bila perhatian besar ditujukan pada fakta bahwa kelompok terpinggirkan dan kurang beruntung (pelajar generasi pertama, etnis minoritas, kaum perempuan) tertinggal di belakang. Dan hal itu memang benar terjadi di Indonesia, namun dalam hal sistem pendidikan, sangat penting untuk diingat bahwa hal tersebut tidak berarti kelompok yang kurang beruntung itumendapatkan pendidikan yang buruk sedangkan mereka yang beruntung di Jakarta memperoleh pendidikan yang baik–hal itu justru berarti bahwa kelompok yang kurang beruntung memperoleh pendidikan yang sangat buruk (hampir tidak ada sama sekali) dan kelompok yang beruntung mendapatkan pendidikan yang buruk (atau paling banter pendidikan yang sedang-sedang saja).
Sebagai contoh, orang dewasa yang memiliki paling tidak satu orang tua yang tamat perguruan tinggi memiliki skor 63 angka lebih tinggi daripada orang dewasa lain yang orang tuanya tidak ada yang tamat SMA. Kesenjangan sosial yang ada jelas dilanggengkan oleh sistem yang ada saat ini. Namun, kelompok orang “beruntung” di Jakarta (mereka yang memiliki orang tua berpendidikan tinggi) hanya meraih 258 angka yang merupakan raihan angka yang masih lebih rendah dibanding orang dewasa “kurang beruntung” (yang memiliki kedua orang tua yang tidak tamat SMA) di 9 dari 28 negara OECD. Dengan demikian, mengurangi kesenjangan dengan cara mengangkat semua orang Jakarta ke tingkat atas akan berarti menjadikan seluruh orang Jakarta kelompok tidak beruntung besar-besaran secara global.
Orang dewasa Indonesia yang “berperfoema tinggi”–persentil ke-90–meraih angka 263, lebih rendah dari raihan angka median orang dewasa OECD (271), dan, lebih mengejutkan lagi, bahkan lebih rendah dari raihan angka rata-rata orang dewasa OECD dengan pendidikan hanya setingkat SMA (264).
Sementara masyarakat memerlukan agar level rata-rata pendidikan bagi semua kelompok menjadi tinggi, mereka pun memerlukan pemimpin yang memiliki keterampilan tinggi dalam bidang politik, sosial, kenegaraan dan ekonomi. Masalah dari prestasi belajar itu adalah bahwa bukan saja 69 persen dari orang Jakarta berada pada level 1, tetapi juga bahwa pada dasarnya tidak ada satu pun yang berada pada level 5 dan hanya 0,5 persen yang menduduki level 4. Level 4 dan 5 dalam hal kemampuan baca tulis diduduki oleh sekitar 1 dari 10 orang dewasa OECD, sedangkan di Jakarta hanya 1 dari 200. Bahkan, di antara mereka yang tamat perguruan tinggi, hanya 2 persen yang berada pada level 4 atau 5 (dibandingkan 21 persen mereka yang tamat perguruan tinggi di OECD).
Kemampuan ekspansi dalam penerimaan/penamatan guna menutup kesenjangan itu kecil. Indonesia, sebagaimana halnya sebagian besar negara lain, telah membuat kemajuan besar dalam memperluas penerimaan. Perbandingan antara orang dewasa usia lanjut dengan orang dewasa muda memperlihatkan bahwa 57,2 persen dari orang dewasa berusia 55-65 memiliki tingkat pendidikan di bawah SMA, namun angka tersebut turun menjadi hanya 29,6 persen saat ini. Kemajuan dalam memperluas penyelesaian pendidikan, dikombinasikan dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyiratkan bahwa hanya sedikit kemajuan secara keseluruhan yang dapat dicapai dengan hanya mengandalkan perluasan akses pendidikan.
Sebuah counter-factual sederhana: Anggaplah semua orang di Jakarta berpendidikan setingkat SMA–dibandingkan 29 persen dari kelompok usia 25-34 yang hanya berpendidikan setingkat SMP–namun rata-rata level pembelajaran mereka yang berpendidikan SMP tetap sama. Maka raihan angka orang dewasa tipikal akan meningkat dari 201 menjadi 211–naik hanya 10 angka. Itu adalah kenaikan angka yang besar, namun kesenjangan antara raihan angka Jakarta dengan angka median OECD adalah 70 angka–201 berbanding 271–sehingga penamatan secara universal pendidikan setingkat SMA hanya akan mengurangi sepertujuh (1/7) kesenjangan.
Di sinilah letak hal yang mencengangkan. Meskipun seandainya semua orang Jakarta memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi, hal itu tidak akan mengeliminasi setengah dari kesenjangan keterampilan literasi dengan OECD. Hal itu dikarenakan rata-rata orang dewasa dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi hanya meraih angka 234 dan oang dewasa tipikal (median) OECD memiliki angka 271. Dengan kata lain, bahkan dengan mengandaikan semua menempati level pendidikan tamat perguruan tinggi sekalipun (dengan hanya 41 persen orang dewasa OECD yang tamat perguruan tinggi), Indonesia hanya akan mencapai setengah dari level pembelajaran yang saat ini dimiliki OECD. Ekspansi serupa dengan hanya mengandalkan penamatan tidak dapat menjadikan negara-negara Indonesia memiliki kompetensi global. Harus ada pembelajaran lebih pada semua tingkatan pendidikan.
Laju kemajuan yang dicapai sungguh sangat lambat. Meski kita tidak dapat melacak kemajuan terjadi pada masa lampau, namun survei terhadap orang dewasa dapat menghasilkan perbandingan performa berdasarkan umur. Hasilnya tidak mengherangkan, terlepas dari peningkatan besar-besaran dalam penamatan dan potensi penurunan keterampilan seiring pertambahan usia, kelompok usia muda (25-34) di negara OECD mencatat nilai kompetensi baca tulis yang jauh lebih tinggi dibanding kelompok usia tua–dengan kesenjangan mencapai 29 poin. Hal yang mencengangkan adalah perbedaan antara kelompok usia muda dengan kelompok usia tua di Indonesia lebih rendah angkanya–hanya 17,3 poin yang memisahkan antara kelompok usia tua (55-65 tahun) dengan mereka yang 30 tahun lebih muda (25-34 tahun), meskipun ada kemajuan besar-besaran dalam hal perluasan jumlah tamatan.
Tabel 2: Terdapat kemajuan antara generasi lebih tua dibanding generasi muda di Jakarta–namun kemajuan itu berlangsung lambat–lebih lambat dibanding di negara OECD (kesenjangannya lebih besar untuk kelompok usia muda).
***Sumber: OECD Skills Matter: Further Results, 2016. Table A3.5
Misalnya kita ambil 17,3 angka setiap 30 tahun sebagai angka kasar laju kemajuan. Agar kelompok usia muda Jakarta (205) dapat mencapai level sekarang dari kelompok usia muda OECD (279), hal itu akan makan waktu kira-kira:
***Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengkritik Indonesia, bahkan, sebenarnya Indonesia patut mendapat pujian karena bersedia berpartisipasi dalam PIAAC (dan program penilaian internasional lainnya seperti PISA) sementara banyak negara lain menolak memberikan data yang memungkinkan dilakukannya perbandingan. Raihan angka Indonesia dalam hal penilaian pembelajaran siswa sebenarnya sangat tipikal negara berkembang, atau malah sebenarnya sedikit berada di atas rata-rata. Jika tingkat performa para pelajar negara-negara lain di sekitar Indonesia (Jakarta) dalam penilaian internasional (PISA atau TIMSS) diikutsertakan dalam survei terhadap orang dewasa ini, mungkin hasilnya akan mirip dengan pencapaian Jakarta. Sebagai contoh, Chile, sebuah negara OECD yang memiliki income per kapita lima kali lebih besar dari Indonesia dalam surveri PPP hanya meraih angka 220,1. Data baru dari jakarta ini, walau sepenuhnya hanya berisi data dari Jakarta, hampir pasti mewakili pula masalah yang tersebar luas.
Hasil PIACC yang baru tentang keterampilan baca tulis dan berhitung orang dewasa hanya merupakan bukti kuat tambahan mengenai perlunya negara berkembang untuk memiliki sistem pendidikan yang berpusat pada pembelajaran. Indonesia tidak dapat menunggu 128 tahun lagi hanya untuk mengejar ketertinggalan. Indonesia perlu mempercepat akseleasi kemajuan proses pembelajaran saat ini juga.