Oleh Rizky Purwantoro
Staf Biro Hukum
INIPASTI.COM, [OPINI] — Saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan yang mencabut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992. Untuk melaksanakan undang-undang baru tersebut dibutuhkan adanya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya yang sampai dengan saat ini sudah diproses dalam Panitia Antar Kementerian, diharapkan finalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah dapat berjalan dengan lancar sehingga penerapan karantina akan memasuk babak baru yang lebih baik kedepannya.
Penerapan karantina sangat penting bagi suatu negara sehingga dapat menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit karena beberapa aspek seperti kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan tumbuhan, serta keamanan pangan dapat terganggu apabila terjadi pemasukan hama dan organisme pengganggu tumbuhan ke dalam wilayah negara tersebut. Misalnya yang terjadi baru-baru ini dengan masuknya Penyakit Mulut dan Kuku atau disingkat PMK yang menyerang hewan ternak, khususnya ruminansia berkuku genap, seperti sapi dan kambing ke dalam wilayah Indonesia dan menyebabkan kerugian yang sangat besar karena banyaknya hewan ternak yang tertular sehingga depopulasi yang terpaksa harus dilakukan terhadap hewan ternak diperkirakan mencapai 1.924 ekor ditambah hewan ternak yang mati akibat penyakit PMK mencapai 1.242 ekor.
Dalam karantina Indoneisa dikenal istilah:
- Hama dan Penyakit Hewan Karantina yang bisa disingkat HPHK,
- Hama dan Penyakit Ikan Karantina atau HPIK; dan
- Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
dimana ketiganya menjadi obyek yang tidak hanya harus dijaga jangan sampai masuk ke dalam wilayah Indonesia tetapi juga harus ada identifikasi terhadap HPHK, HPIK atau OPTK yang masuk ke dalam wilayah Indonesia serta untuk menentukan tindakan karantina apa yan dibutuhkan mencegah penyebaran HPHK, HPIK dan OPTK tersebut.
Untuk melakukan identifikasi terhadap HPHK, HPIK, dan OPTK dan menentukan tindakan karantina apa yang harus dilakukan maka perlu dibuatkan analisis risiko terlebih dahulu. Karena baik pengidentifikasian HPHK, HPIK, dan OPTK maupun tindakan karantina tidak boleh sembarangan, terlalu besar risiko yang dapat terjadi apabila belum ada analisis risikonya atau analisis risikonya sudah ada namun tidak berdasarkan data yang valid dan pengkajian yang mendalam sehingga menyebabkan masuknya wabah penyakit yang dikawatirkan.
Analisis Risiko dapat didefinisikan sebagai metode untuk mengukur dan mengidentifikasi variabel yang dapat mengancam atau mencederai sebuah rencana atau program. Sedangkan di dalam RPP Pelaksana Undang-Undang tentang Karantina definisi analisis risiko lebih melihat dari proses pengambilan keputusan teknis kesehatan hewan, ikan, dan tumbuhan dengan berdasarkan dua kaidah, yaitu kaidah ilmiah dan kaidah keterbukaan publik.
Analisis risiko perlu dilakukan terhadap pemasukan media pembawa HPHK, HPIK, dan OPTK yang masuk ke dalam wilayah Indonesia, selain itu perlu juga dilakukan analisis risiko terhadap perubahan status dan situasi HPHK, HPIK, dan OPTK yang terjadi di negara tempat asal HPHK, HPIK, dan OPTK. Analisis risiko tersebut harus dilakukan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang karantina.
Didalam RPP Pelaksana Undang-Undang tentang Karantina terdapat cukup banyak mengenai diperlukannya dilakukan analisis risiko terkait HPHK, HPIK dan OPTK. Menggambarkan betapa pentingnya pelaksanaan analisis risiko terhadap pelaksanaan karantina.
Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam melakukan analisis risiko terhadap HPHK dan HPIK, tersebut terdiri dari:
- identifikasi bahaya;
- penilaian risiko;
- manajemen risiko; dan
- komunikasi risiko.
Sedangkan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam analisis risiko terhadap OPTK meliputi:
- inisiasi
- penilaian risiko; dan
- pengelolaan risiko.
Masih terkait dengan analisis risiko, penetapan tempat pemasukan dan tempat pengeluaran salah satunya harus mempertimbangkan:
- risiko masuk dan tersebarnya hphk, hpik dan optk;
- risiko keluarnya HPHK, HPIK dan OPTK;
Selanjutnya untuk melindungi kepentingan nasional, kepala lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang karantina dapat menetapkan tempat pemasukan khusus untuk melaksanakan tindakan karantina pengamanan maksimal terhadap media pembawa yang berisiko tinggi menularkan HPHK, HPIK dan OPTK.
Kemudian analisis risiko juga diperlukan dalam menetapkan tempat transit, area yang dilarang transit, dan negara yang dilarang untuk jadi tempat transit. Pembangunan instalasi karantina pun juga harus berdasarkan analisis risiko penyebaran HPHK, HPIK dan OPTK.
Dalam melakukan penetapan jenis HPHK dan media pembawa HPHK juga harus mengacu kepada analisis risiko, dimana analisis risiko tersebut perlu dilakukan terhadap:
- hasil kegiatan pemantauan HPHK;
- hasil kegiatan surveilans HPHK; dan/atau
- informasi resmi dari badan kesehatan hewan dunia.
Dengan perumusan analisis risiko yang lebih komprehensif didalam RPP ini diharapkan peristiwa masuknya wabah PMK seperti yang kemarin terjadi dapat dicegah dan diantisipasi di masa depan sehingga pelaksanaan karantina pertanian menjadi lebih maksimal.