INIPASTI.COM, SELAMA sebulan terakhir di Aleppo, saya tidak perlu lagi menyetel alarm pagi. Rezim pemerintah yang melakukannya untuk saya. Setiap hari kami akan dibangunkan pada pukul 7 pagi oleh serangan misil dan bom. Saya tidak tahu apakah juga ada serangan mortir, karena saya sudah begitu terbiasa dengan suara ledakanya sehingga tidak mengganggu lagi tidur saya.
Saya rindu akan kemewahan bangun perlahan, memulai hari dengan menatap potret istri dan putri saya, yang saya gantungkan di dinding. Saya merindukan Zara, yang baru berusia enam bulan, lebih dari apapun. Namun, kini, saya harus langsung melompat bangun dari pembaringan dan bergegas ke lokasi pengeboman membantu tim penyelamat.
Sekarang saya sudah ahli dalam mengeluarkan orang dari reruntuhan bangunan, dalam membedakan seberapa dalam suara teriakan minta tolong itu berasal, bagaimana mengenali mereka dalam suasana kacau balau–karena mereka terlihat sangat mirip patung berselaput debu.
Pelukan erat, penuh ketakutan dari anak-anak yang saya keluarkan dari puing-puing rumah mereka tidak akan dapat saya hapus dari ingatan saya. Saya juga tidak dapat membersihkan noda darah mereka dari kaus oblong saya.
Istri saya sering bertanya-tanya mengapa saya beli 10 helai kasus oblong sekaligus setiap kali saya ada di Turki. Saya memberi tahu dia bahwa “kaus saya yang lama sudah pada hilang”, agar dia tidak ketakutan. Terutama setelah melahirkan putri kami, Zara, istri saya jadi sangat peka terhadap anak-anak.
Saya pulang ke rumah pada pukul 9 pagi untuk membersihkan diri dan merenungkan apa saja yang barusan terjadi, apa saja yang telah saya lakukan, tubuh kaku mayat yang saya tarik keluar dari reruntuhan bangunan, ketakutan yang dialami mereka yang menantikan kabar apakah kerabat mereka ditemukan selamat, atau setidaknya apakah jasad mereka ditemukan dalam keadaan utuh. Banyak jasad yang ditemukan dalam keadaan cerai berai atau terbakar hangus. (bersambung ke hal 2/4)